Masyarakat film mengharapkan agar Pilpres 2024 menghasilkan pemimpin, entah itu Presiden atau Wakil Presiden yang peduli dan concern terhadap kemajuan perfilman Indonesia. Yang memiliki kesadaran bahwa film merupakan pranata sosial yang mampu membentuk pembangunan kebudayaan dan peradaban.
Untuk itulah masyarakat film merasa perlu menyampaikan aspirasinya agar tidak kaget ketika muncul pemimpin-pemimpin baru.
“Dari nama-nama calon presiden, wakil presiden yang ada sekarang sulit sekali menemukan nama yang betul-betul sudah memberikan kerjanya nyata, tindakan nyata terhadap kemajuan perfilman. Saya cuma melihat ada satu yaitu Muhadjir Effendy,” kata Adisurya Abdy.
Menurutnya, Muhadjir memiliki rekam jejak yang jelas kepedulian terhadap kemajuan film nasional. Dia mencontohkan, pada saat Muhadjir memulai menjadi Mendikbud pada Kabinet Jokowi Jilid Satu, share film Indonesia itu cuma 16 persen. Tetapi pada saat dia mengakhiri jabatannya, share film Indonesia itu lebih 50 persen. Artinya terjadi peningkatan yang signifikan.
Muhadjir menjadi penonton yang mengikuti film Indonesia. Dia selalu mendorong orang menonton film Indonesia. Bahkan kadang-kadang dia menghimpun orang untuk nonton bareng film Indonesia.
“Jangan lupa, dia mendukung sepenuhnya orang film menjadi pahlawan nasional yaitu Usmar Ismail. Kalau dia tidak memberikan dukungan, tidak mungkin terwujud. Dan yang menarik lagi, di dunia ini pahlawan nasional dari film kayaknya hanya Indonesia,” tegas Abdy.
Akhlis Suryapati mengatakan, Muhadjir telah menunjukkan kepedulian terhadap film. Bahkan sampai sekarang, dia tetap peduli. Misalnya menyediakan billboard, dia perintahkan videotrone untuk promosi film Indonesia.
“Ketika ada produser baru yang filmnya terhambat beredar di bioskup, lantas mengadu kepada Muhadjir, dia langsung turun tangan,” ujar Akhlis.
Karakter Muhadjir yang kalem, santun tidak progresif pada satu sisi mengakibatkan elektabilitasnya rendah. Tetapi pada sisi lain, justru sosok semacam ini dibutuhkan sebagai penyeimbang.
“Indonesia kan sekarang dalam polarisasi yang tajam yang disebut kanan dan kiri atau agama dengan nasionalis atau kemapanan dengan perubahan. Yang dibutuhkan adalah bagaimana sosok yang mampu dalam keseimbangan,” kata Akhlis.
“Jangan lupa pemimpin itu perlu penyeimbang. Di situlah tempat Muhadjir,” tegas Adisurya Abdy.(Galuh/min)