Walaupun faktanya memang sholat subuh di mesjid kala hujan tak gampang. Mau minta “pembantu rumah tangga,” membantu kita, dia sendiri pun belum bangun. Lagipula kasihanlah, dia harus bangun subuh sementara nanti sudah banyak pekerjaan lainnya, apalagi kalau pembantunya perempuan.
Biasanya andai hujan besar, diiringi juga angin. Kalau sudah begini, tidak mungkin kita memakai payung kecil. Selain air hujan bakal mengenai tubuh kita dari samping dan belakang, payung yang kecil sendiri dapat terbang ditiup angin. Jadi, harus payung besar.
Memakai payung besar di tengah hujan angin, sejak membuka dan menutup pintu pagar rumah pun tak sesederhana yang dibayangkan orang.
Pagar yang terkunci, harus dibuka. Lantas pintu pagar yang lebih dari dua meter di rumah hamba harus didorong untuk dibuka. Lantas harus ditutup lagi. Dikunci lagi. Kalau tidak memegang payung besar, sebenarnya _sih_ amat mudah melakukannya, tapi jika tangan kita sedang memegang payung besar, menimbulkan kesulitan tersendiri. Payung dapat betubrukan dengan pagar.
Kalau salah pegang payung, hujan bakal mendera kita.
Jadi, memang perlu sedikit “perjuangan.” Begitu pula waktu pulang harus dilakukan hal sama. Kalau
pagar tidak tutup dan dikunci lagi, khawatir ada maling masuk. Situasi seperti ini salah satu yang menjadi inceran maling.
Usai sholat, hujan mungkin sudah reda, atau bahkan berhenti. Tapi dapat juga masih tetap masih besar. Tiap keadaan dapat berbeda-beda.
Pengalaman hamba, pergi ke mesjid tidak hujan, tapi waktu kita mau pulangn terjadi hujan besar, ini yang merepotkan. Kalau dari rumah sudah hujan, kita pastilah sudah bawa payung. Sebaliknya, jika dari rumah tak ada tanda-tanda hujan, tetapi lantas ketika sholat di mesjid mendadak turun hujan yang lebat, kita belum tentu bawa payung.
Jika waktu berangkat sudah mendung, mungkin kita juga bawa payung. Tapi kalau cuaca tidak jelas, apalagi tak ada tanda-tanda ada hujan, kita tidak akan bawa payung.
Maka ketika kita berangkat sholat subuh di mesjid turun hujan, dan ketika selesai sholat, hujan tambah lebat, padahal kita tak bawa payung, nah, disini problemnya. Kalao kita mau menunggu hujan reda apalagi berhenti, kita tidak tahu kapan tepatnya. Kita bisa menunggu sampai siang. Acara-acara kita selanjutnya dapat berantakan.
Mau lari menembus hujan, badan bakal basah kuyup. Pilih mana?
Kenapa tidak telepon ke rumah minta dianter payung? Biasanya hamba pergi sholat subuh ke mesjid pada umumnya tak bawa HP.
Praktis _gak_ dapat menghubungi rumah.
Dalam keadaan seperi ini, hamba sering beruntung. Isteri mengirim orang rumah ke mesjid mengantar payung buat hamba. Selamatlah hamba pulang ke rumah tanpa basah.
Tapi tak selamanya isteri ingat suaminya sedang mengjadapi situasi seperti ini. Nah alternatifnya: kalau hujan gak terlalu deras, hamba terobos saja. Basah-basah dikit, tidak apa-apalah. Kalo hujan deras, apa boleh buat, terpalsalah hamba dan jemaah mesjid lainnya menunggu hujan mereda.
Kecuali hamba ada janji di pagi hari, mau tidak mau harus melawan hujan lebat, supaya tidak terlambat dari janji.
Beberapa kali terjadi, pada diri hamba, waktu berangkat hujan. Makanya hamba berangkat memakai payung. Setelah selesai sholat subuh, hujan sudah berhenti total.
Lantas saya pulang aja lenggang kamgkung jalan kaki begitu saja. Payung yang tadi hamba bawa, lupa diambil dan dibawa pulang kembali, dan tertinggal mesjid….
Itu mungkin cermin dari kita yabg berada pada strata ekonomi “rata-rata” atau kelaa menengah. Kalau Tuan orang berada, gak usah repot-repot. Minga saja “ajudan” atau “asisten” untuk mengaturnya buat Tuan. Gak perlu repot-repot…
T a b i k (*) Bersambung….
Wina Armada Sukardi, Wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.