Oleh : Wina Armada Sukardi
KALAU kita mau mendapat udara pagi yang segar dan bersih, berangkatlah sholat subuh di mesjid. Begitu kita keluar rumah menuju mesjid, langsung terasa udara bersih dan segar masuk ke hidung kita untuk dikirim ke paru-paru. Bagian tubuh yang lain pun merasakan nikmatnya udara subuh yang segar dan menyehatkan.
Sebaliknya, selain mendapat “nikmat” udara yang baik bagi kesehatan, sholat subuh di mesjid juga terkadang harus menghadapi berbagai rintangan cuaca, terutama di musim penghujan.
Ketika kita mau berangkat ke mesjid, sering sekali sudah ada hujan lebat, atau tiba-tiba turun hujan lebat. Tidak mungkin kita tidak membawa payung karena jika tidak membawa payung pastilah badan basah kuyup, sehingga justeru tidak memungkinkan atau mempersulit kita untuk sholat subuh di mesjid.
Ketika hujan, baik yang kecil, apalagi yang lebat, sebelumnya kerap membuat terjadi “monolog” dalam diri pribadi. Pasti turunnya hujan membuat diri kita sering ragu untuk melangkah ke mesjid. Banyak pertimbangan dapat kita jadikan alasan untuk kita tidak berangkat ke mesjid.
Manusiawi sekali jika dingin-dingin sedang di luar rumah hujan yang dapat membuat kita repot dan badan juga mungkin kena flue dan sebagainya, membuat kita setengah ragu untuk berangkat.
Pada bagian lain, keimanan dan ketaqwaan kita justeru menghendaki kita herus berangkat. Adanya hujan di subuh hari merupakan salah satu faktor penguji yang dapat menjadi ajang pembuktian keimanan dan ketaqwaan kita . Disinilah terjadi monolog dua kubu yang berseberangan pendapat dan sikap dalam diri kita.
Sebuah “monolog” yang terkadang begitu tajam:
“Ini hujan _lho._ Realistis _aja deh._ Biar _pake_
payung juga kemungkinan kecipratan air, dan kepala dapat jadi pusing. _Gak usah_ dululah sholat subuh di mesjid. _Kan _ sudah rutin sholat subuh disana. Ini pengecualiian. Toh, Allah pun pasti bakal maklum,” kata satu sisi hati yang mengajurkan tak perlu sholat subuh di mesjid.
“Nah, ini justeru kesempatan memperoleh pahala dan nikmat yang lebih besar. Karena sholat subuh di mesjid tanpa ada rintangan apa-apa , itu _sih_ biasa saja. Gak_ ada yang istimewa.
Tapi kalau kita menerabas hujan besar ke mesjid, itu baru luar biasa… . Jalan ke mesjid manakala hujan itu merupakan pembuktian diri kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa,” jawab sisi hati lain yang mengajurkan tetap pergi ke mesjid.
“Gak, pergi ke mesjid dalam situasi semacam ini bukan berarti kita tidak beriman, atau tidak bertaqwa. Kita _kan_ tidak meninggalkan sholat subuh. Kita tetap sholat subuh _kok,_ tapi di rumah. Dan kita juga bukannya gak berniat pergi ke mesjid, tapi kondisi cuaca yang buruk dapat membuat tubuh kita sakit. Selama ini juga sudah selalu ke mesjid. Allah juga pasti tahulah. Gak, usah ngotot-ngotot gak_ karuan. Jangan emosi. Pikirin matang-matang, balas hati yang menganjurkan tidak sholat subuh di mesjid.
Dibantah lagi oleh hati yang mengajanjurkan tetap ke mesjid. “Hujan itu, segede apapun, kalau untuk menghadap Alllah di rumah Allah, cuma perkara kecil.
Masak, cuma karena ada hujan saja kita gentar mau datang dan sholat di rumah Allah. Pencundang banget. Kalau hanya takut kena hujan kita tak jadi berangkat ke mesjid untuk sholat subuh, bagaimana kita dapat mengatakan kita mempunyai iman dan taqwa yang kuat. Katanya hidup dan mati kita untuk Allah, eh, giliran ada hujan, kita jadi pengecut. Coba, kalau kita dipanggil pejabat tinggi atau mau mendapat duit, apakah hujan juga menjadi rintangan? Tidak bukan?! Ayo sana, tetap ke mesjid sholat subuh disana.”
Terus terang saja, monolog dalam hati seperti itu sempat terjadi pada diri hamba berkali-kali. Pergi ke mesjid, tidak? Tapi hal ini terjadi sudah lama sebelum ada ketetapan hati. Kiwari, hujan tidak hujan, hujan kecil atau besar, hamba sudah memutuskan bakal berangkat ke mesjid. Baru dicoba secuil itu saja, _masak_ kecut, sementarara nikmat Allah tiada terkirakan. Malulah hamba kepada Sang Kuasa andai cuma lantaran hujan tak sholat subuh di mesjid.