Perasaan seperi itu pula yang sempat tanpa saya sadari juga hadir dalam diri saya.
Beruntung itu tak berlangsung lama, dan saya dapat tersadar atas kekhilafan itu. Mesjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan mesjid pribadi kita. Kalau pun ada mesjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika telah dibuka untuk umum, mesjid telah berubah menjadi mesji publik. Mesjid jami. Menjadi rumah Allah.
Semua orang berhak datang ke masjid. Semua orang, memiliki hak untuk sholat di masjid itu. Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau sholat di bagian manapun sepanjang datang lebih dahulundan tempat itu masih kosong.
Sebaliknya Kita tidak punya hak untuk mengklaim ada bagian-bagian tertentu dari tempat sholat di mesjid hanya diperuntukan buat kita, dan orang lain sepatutnya menghormati hak kita. Tak patut kita menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak kavling” kita.
Semua orang di hadapan Allah sama. Semua diperbolehkan memilih menempatkan diri, dan sholat di bagian manapun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk mengaturnya.
Tentu ada pengecuakian, jika ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi bukan yang permanen.
Saya teringat kepada sebuah mesjid yang berada masih di seputaran tempat tinggal kami. Beberapa orang bercerita, mereka sempat sholat di mesjid itu. Namun apa yang terjadi? Para jemaah tetap di mesjid tersebut memperlihatkan wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang lain atau “orang baru “ sholat disitu. Wajah-wajah yang jelas menunjukan mereka tak berkenan ada orang lain sholat “di mesjid mereka,” selain kalangan mereka sendiri.
Tak hanya itu, setelah “orang baru” atau “tamu” selesai sholat disana, tempat yang dipakai sholat tersebut langsung dibersihkan dan dipel sebanyak tujuh kali. Tamu yang sholat disitupun masih melihat tempat bekasnya sholat harus dipel sampai tujuh kali.
Seakan-akan yang barusan sholat disitu najis dan haram, sehingga tidak boleh sholat disana. Kalau pun sudah sholat, tempatnya harus dibersihkan sebersih-sebersihnya, antara lain harus dipel sampai tujuh kali.
Rupanya pengurus dan jemaah mesjid itu memang punya faham, mesjid itu khusus untuk kaum pengikutnya saja. Setiap sisi tempat sholat disana memang sudah “dikavling” buat anggota jemaah sendiri.
Dari tempat itulah mereka beranggapan jalan menuju surga. Makanya, orang lain tak boleh sholat di mesjid itu. Selain jemaah mereka sendiri, tak boleh ada yang menduduki “kavling” yang sudah terbentuk untuk para jemaahnya.
Akhamdullilah, saya cepat sadar. Perasaan bahwa tempat yang biasa kita duduki di mesjid, bukanlah ekslusif milik kita pribadii. Bukan kavling private. Tempat itu milik Allah. Tempatn itu bebas dipakai oleh siapa saja.
Kini saya masih sering tetap sholat di bagian yang menjadi favorit saya. Bedanya, jika ada orang lain yang kemudian lebih dahulu menempati lokasi di bagian itu, siapapun dia orangnya, saya rela. Saya Iklas seiklas-iklasnya. Semua “kavling” di mesjid kepunyaan Allah.
Bukan punya kita, siapapun kita. Di rumah Allah kita harus tulus berbagi “kavling” dengan sesama jemaah lain, setiap saat. Siapa datang lebih dahulu, jemaah itu punya hak memilih lebih dahuku dimana pun dia mau duduk dan sholat, selama masih kosong, termasuk di tempat favorit kita…
Tabik!…(Bersambung…)
WINA ARMADA SUKARDI, Wartawan dan Advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase pribadi yang tidak mewakili organisasi.