SURABAYA (WartaTransparansi.com) – Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menilai Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia terkandung Bhineka Tunggal Ika yang dijamin konstitusi. Untuk itu, ketika ada masalah perlu diingat bahwa sesama anak bangsa, harus saling menghargai karena kemajemukan itu sudah luluh dalam Kebhinekaan.
Hal itu disampaikan oleh Sri Sultan ketika menjadi narasumber pada diskusi panel Dialog Kebangsaan dengan tema Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Sabtu (14/1/2023). Dalam dialog yang juga dihadiri Menkopolhukam Mahfud MD yang bertindak sebagai keynote speaker dan difasilitasi oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, juga ada dua pembicara lain yakni budayawan KH Zawawi Imron dan tokoh Agama Dr. KH. Wahid Maktub.
Dikatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai suku yang dijamin oleh konstitusi. “Di Jogja, saya pernah bertemu dengan mahasiswa asal Papua yang meminta maaf jika dirinya belum bisa bahasa Jawa. Tetapi, saya mengingatkan bahwa tetaplah bangga menjadi suku Papua dan berbahasa di lingkungan mereka. Karena semua itu dijamin oleh konstutusi. Tidak ada yang bisa memaksakan kehendak. Demikian juga untuk suku lainnya di tanah air. Karena kita menghargai perbedaan,” tambahnya.
Sri Sultan yang juga Gubernur DIY mengingatkan bahwa tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa depan sangat luar biasa. Sehingga, diperlukan pemimpin sekaligus generasi di masa depan bisa menatap tegas ke depan, tanpa menoleh ke belakang. “Harapan saya jangan hanya mengatakan Bhineka Tunggal Ika adalah lambang negara, tetapi harus kita aplikasikan menjadi strategi integrasi bangsa. Itulah pilihan kita untuk berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Sementara Zawawi Imron mengakui Indonesia adalah wilayah yang sangat indah seperti disampaikan orang asing ketika melihat negeri ini. Dengan adanya Pancasila yang menghormati adanya perbedaan perlu menjadi pedoman hidup bangsa. “Biasanya orang miskin itu lebih Pancasilais. Karena berjiwa bersih. Meskipun tidak pinter. Yang repot itu, orang yang setengah pinter. Memanfaatkan Pancasila untuk menyalahkan orang lain,” katanya.