SURABAYA (WartaTransapransi.com) – Aksi nyentrik para remaja SCDB (Sudirman Citayam Bojonggede Depok) yang menjadikan zebra cross sebagai catwalk peragaan busana Citayam Fashion Week (CFW) di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, menjadi fenomena luar biasa. Menyita perhatian publik. Disoroti dan menjadi perbincangan hangat. Banyak pengunjung berdatangan. Dari berbagai daerah. Mereka, bukan cuma dari kelas bawah atau anak-anak pinggiran. Ada juga selebriti, anak muda kelas atas, dan atau pelaku konten kreator.
Hebohnya sejumlah tokoh, politisi, juga pernah singgah, meramaikan, dan menjajal lintasan zebra cross CDW. Mereka tampil keren. Antaranya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan bahkan pemilik wilayah DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan Luar biasanya, Anies mengajak Wakil Presiden Bank Investasi Eropa Kris Peeters dan rombongan menjajal catwalk di zebra cross Citayam Fashion Week. Juga hadir dikesempatan itu, Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket. Head of VP Kris Peeters’ Office Sunita Lukhoo, dan Head of EIB Group for Southeast Asia & The Pacific Lucas Lenchant.
Memang luar biasa. Kemunculan CFW yang tetiba dan tanpa program itu, begitu viral. Langsung menular. Sebab, beberapa kota di tanah air juga mengikuti hal serupa. Sebut saja, Kota Makassar, Kota Surabaya, Kota Pagiaman, dan bahkan Madura yang pengemasan busana diperagakan bernuansa Islami. Sebagian orang menyebut, latah. Tapi, apa pun sebutannya, sebenarnya kelatahan itu positif karena bagian dari antusiasme kreasi anak-anak muda. Dan, bisa jadi, bahwa antusiasme itu juga melawan kejenuhan terhadap kemewahan, gemerlap dan gegap gempitanya dunia catwalk yang komersil.
Di Kota Pahlawan, “Tunjungan Fashion Week” sempat digelar di kawasan Jalan Tunjungan pada Minggu malam kemarin. Sayang, kegiatan itu langsung mendapat protes para pengguna jalan. Dianggap mengganggu kenyamanan dalam berlalu lintas. Sedihnya, Satpol PP langsung bersikap tegas dan membubarkan kegiatan itu. Terkesan, Pemkot Surabaya tidak memberikan ruang untuk anak muda dalam berkiprah, berkreasi.
Memang, ada rasa kecewa dengan sikap tegas pemkot tersebut. Namun, keesokannya Wali Kota Eri Cahyadi langsung buka suara. Ia beralasan, pembubaran itu bukan berarti tidak mendukung. Tetapi lebih kepada soal kenyamanan bersama. Yakni, kenyamanan pengguna jalan, dan aktivitas yang tidak menimbulkan kemacetan. “Jadi, ini bukan masalah tidak pro atau pro terhadap kreasi seni di Surabaya,” tandasnya.
Ia beralasan, sebenarnya kegiatan itu bisa dilakukan di saat Car Free Day atau di ruang terbuka hijau lainnya yang ada di Kota Pahlawan. Atau, di ruang-ruang publik non jalan raya.
“Bisa digelar di Balai Pemuda dan berbagai ruang terbuka hijau, dengan tetap menjaga kebersihan dan tidak merusak taman. Atau di pejalan kaki dengan konsep terjadwal dan tidak merusak, agar dapat diatur, tidak mengurangi kenyamanan masyarakat luas,” tandasnya.
Dengan demikian, Eri meyakini, bahwa kreasi semacam ini tidak akan menimbulkan kemacetan.
“Soal konsep outfitnya, silakan berkreasi. Namun, harus tetap menginspirasi, ojok pating pecotot (tidak rapi) dan sing gak karu-karuan (tidak pantas), juga harus mencerminkan karakter khas arek Suroboyo,” tegasnya.