Bahkan di kawasan Mangrove Ujungpangkah telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosisten Esensial. Teluk Lamong kabar terbaru akan mereklamasi di sekitar Pelabuhan Pelindo areal seluas 140 hektar, 82 hektar diantaranya sudah direklmasi sejak 2012. Lahan reklamasi tersebut semula adalah Kawasan hijau mangrove yang dijadikan Kawasan konservasi.
Sementara di Lamongan wilayah konservasi ditetapkan di Kawasan pesisir Desa Sedayulawas Kecamatan Brondong yang memiliki kawasan hijau mangrove.
Di Kabupaten Lamongan saat ini terdapat 125 hektar luasan tanam pohon mangrove yang terbagi di dua wilayah kecamatan, yakni Paciran dan Brondong.sepanjang 47 KM. Pantai Timur Surabaya dan utara yang carut marut, tumpang tindih antara area konservasi dan bisnis juga diincar untuk dijadikan perluasan Kawasan industri.
Di Kabupaten Sumenep beberapa pulau tenggelam dan nyaris hilang akibat penggalian pasir liar diantaranya Pulau Pandan, Gresik Putih, Keramat di Kecamatan Gili Genting. Di Kecamatan Klampis, Bangkalan setidaknya ada 62 lokasi tambak udang vaname illegal puluhan tahun beroperasi serta mencemari laut dan mengancam kelangsungan konservasi laut di sekitarnya.
Tindakan Hukum Lemah
Tindakan hukum selama ini khususnya sejak Perda RZWP3K diundangkan empat tahun lalu menjadi titik lemah menindak pelaku reklamasi illegal.
Contohnya, pencemaran laut oleh tambak udang di pesisir dan laut, pembabatan hutan mangrove dan rekalmasi illegal tidak pernah ada kelanjutannya. Tarik ulur antara aparat penegak hukum (Polair) dan provinsi dalam menyikapi sesuatu pelanggaran menjadi bias dan cenderung mengambang. Keenganan masyarakat untuk melaporkan jika terjadi pelanggaran lingkungan juga menjadi preseden buruk.
Mengutip Tempo, Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Hartiwiningsih, menilai selama ini penegakan hukum pidana lingkungan masih lemah. Pelaku perusakan lingkungan sering hanya diberi hukuman yang ringan, baik penjara maupun denda.
Dia berpendapat lemahnya penegakan hukum disebabkan kultur yang terbangun di masyarakat bahwa perbuatan yang merusak lingkungan adalah perbuatan pidana biasa.
Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta itu menilai, selama ini penegakan hukum pidana lingkungan masih lemah. Pelaku perusakan lingkungan sering hanya diberi hukuman yang ringan, baik penjara maupun denda.
Vonisnya hanya dua-tiga bulan penjara. Padahal hukuman maksimalnya bisa sampai 10 tahun. Karena dianggap sebagai kasus biasa, kepolisian biasanya baru bereaksi ketika ada delik aduan dari masyarakat perihal kerusakan lingkungan.
Seharusnya kepolisian juga proaktif, sama seperti saat menangani kasus korupsi, narkotika, dan lainnya. (*)
*) Penulis adalah Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan dan
*) Dewan Pakar PWI Jawa Timur