SENGAJA saya memilih menyendiri dari rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2022. Tidak ikut bersama rekan-rekan wartawan PWI atau pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) bergabung di Kendari, Sulawesi Tenggara untuk merayakan puncak HPN dan rangkaian kegiatan untuk memperjuangkan kemandirian dan kemerdakaan pers.
Selain, kondisi negeri yang belum seratus persen aman, akibat fluktuasi penyebaran virus Covid-19 yang menjelma menjadi varian Omicron, saya juga ikut sedih adanya persaingan membabi buta dalam proses seleksi anggota Dewan Pers hingga memunculkan kontroversi berkepanjangan.
Bisa jadi, persaingan bisnis Perusahaan Pers yang begitu heroik dan kompetitif, seiring bertenggernya era digital, menimbulkan dorongan kuat menempatkan figur untuk mengisi slot Anggota Dewan Pers dan mengeluarkan jurus akrobatik.
Yang jelas, begitu nama-nama calon anggota Dewan Pers ditetapkan, mulai terjadi kasak-kusuk, adanya monopoli kartel menjadikan Dewan Pers sebagai ‘Istana’ bagi pemilik modal untuk mengatur bisnis media ke depan. Sementara kekuatan dari insan pers yang bergelut dalam matras tipis kehidupan jurnalis dibiarkan ambruk akibat efek virus ‘Dewan Pers”.
Muncul berbagai gerakan untuk menantang. Saya berharap pemerintah harus berhitung ulang, jika memaksakan Presiden untuk menerbitkan Kepres Anggota Dewan Pers sebagai kewajiban administrasi tanpa menelaah dan mengkaji fakta riil, baik prosedur dan proses pemilihan. Atau dugaan rekayasa untuk membalut aturan UU Pers sebagai bingkai berlindung di Statuta Dewan Pers.
Kebetulan, organisasi SMSI yang telah resmi menjadi Konstituen Dewan Pers dari unsur Perusahaan Pers telah merasakan aroma ‘busuk’ di balik gugurnya calon yang dianggap berseberangan, demi memuluskan kartel bisnis media dengan menguasai Dewan Pers.
Secara resmi SMSI mengirim surat ke Presiden dengan maksud mengajukan permohonan Peninjauan Statuta kepada Ketua Dewan Pers dan Penangguhan Penetapan Anggota Dewan Pers periode 2022-2025.
Informasi menyebut, bagaimana bisa panitia seleksi yang dalam rapat tidak melibatkan semua unsur konstituen Dewan Pers, bahkan mengesampingkan tokoh-tokoh yang secara kompeten memenuhi syarat personal dan keterwakilan keanggotaan, bisa tergeser oleh figur yang hanya dekat karena koneksi dan jaringan bisnis pers semata?
Sebagai jurnalis bidang hukum dan lama mengikuti perkembangan politik hukum di Indonesia, tentu bukan sekedar memaksakan Presiden agar bersandar pada pasal 15 ayat (5) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Presiden”.