Bahkan pada malam tanggal 25 itu, terjadi rentetan penembakan dari arah Kariu ke Ory, antara lain mengenai bangunan sekolah Al Khairiyah Ory dan merusak sejumlah kaca jendela. Informasi penembakan ini juga sampai di Pelauw, sehingga terjadi konsentrasi massa di perbatasan Ory dan Kariu, maupun Kariu dan Pelauw, dari 25 Januari, hingga 26 Januari pagi.
Hingga kemudian di pagi hari, 26 Januari, ada satu warga Pelauw ditemukan meninggal di perbatasan Negeri Pelauw dan Kariu akibat luka tembak. Beberapa saat kemudian, korban kedua, kakek usia 70 tahun (penumbuk batu) asal Negeri Pelauw ditemukan meninggal, juga dengan luka tembak.
Massa dari Negeri Pelauw yang awalnya berjaga-jaga di perbatasan Negeri, menjadi tak terkendali akibat ada warganya yang meninggal, terjadilah konflik terbuka. Dampaknya adalah, sejumlah rumah dan bangunan warga Kariu terbakar, namun perlu dicatat, tidak dari warga Kariu yang terbunuh atau meninggal.
Sementara saat mengungsi melintasi hutan, warga Kariu masih sempat merusak perkebunan atau ratusan pohon cengkeh milik warga Pelauw. Kita tau perkebunan cengkeh inilah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi warga Pelauw, terutama dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Nah, bila membaca rangkuman ulasan pendek di atas, rasanya kurang bijak dan terlalu gegabah untuk menyalahkan warga Pelauw/Ory, apalagi hingga memberikan stereotip sebagai perusuh. Karena memang tak ada asap bila tak ada api.
Tak mungkin ada percekcokan antara warga Pelauw dan Kariu kalau tak ada hak ulayat Negeri Adat Pelauw yang diduduki secara sepihak. Apalagi sebelumnya sudah ada upaya penguasaan tanah secara sepihak dan pengrusakan situs adat Asari Mahu/Ua Rual, yang nyatanya lambat diproses secara hukum.
Begitu pula tak mungkin ada penyerangan dan pembakaran, bila tak ada warga Pelauw yang tewas tertembak sebelumya. Warga Negeri manapun, terutama di Maluku, akan terpicu emosi secara kolektif bila ada warganya yang terbunuh.
Menuding warga Pelauw memiliki dan menggunakan senjata api juga tidak relevan atau tidak berdasar, karena yang meninggal tertembak justru warga Pelauw. Begitu pula dengan bangunan sekolah yang rusak tertembak di Ory pun arah tembakan berasal dari Kariu.
Dari kronologis yang mengemuka di atas, silahkan masing-masing mengambil kesimpulan sendiri. Mana kelompok yang sebenarnya pembuat onar, memicu dan menjadi biang kerok terjadinya konflik.
Pastinya orang Pelauw adakah komunitas masyarakat adat yang dikenal dengan filosofi hidup sabar yang diwariskan oleh para leluhurnya. Membuat orang Pelauw pada masa lalu banyak yang memilih menjadi buruh/kuli angkut di Pelabuhan Ambon, menjalaninya dengan sabar dan tabah, demi anak-anaknya bisa bersekolah.
Orang Pelauw juga dibesarkan dalam falsafah ‘alem miye-alem miye, uria siye-uria siye: punyamu adalah punyamu, punya orang adalah milik orang. Sehingga mengambil hak orang lain, apalagi sejengkal tanah tentu sangat jauh dari jati diri orang Pelauw.
Terakhir, terkait rumah-rumah atau harta benda lainnya yang terbakar saat konflik itu, mungkin saja dalam beberapa bulan kedepan dapat dibangun atau diganti oleh pemerintah. Tapi 3 korban tewas warga Pelauw tak mungkin dihidupkan kembali, termasuk pohon-pohon cengkeh yang ditebang, karena bila ditanam ulang, tentu butuh belasan atau bahkan puluhan tahun untuk bisa berbuah atau dipanen lagi.
Ambon, 6 Februari 2022
Penulis adalah Ketua Bidang Sejarah, Tradisi dan Kebudayaan, Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Masyarakat Adat Matasiri (Kemasama)
Editor: RB. Syafrudin Budiman SIP