Konflik Negeri Adat Pelauw dan Kariu, Siapa yang Sesungguhnya Perusuh?

Konflik Negeri Adat Pelauw dan Kariu, Siapa yang Sesungguhnya Perusuh?

Oleh: Mus Salampessy/Tumbeleka Woley

Terus terang peristiwa konflik antara warga Negeri Adat Pelauw dan Kariu tanggal 26 Januari 2022 membuat publik dan kita semua terkejut. Betapa tidak, sejumlah rumah warga Kariu terbakar dan akhirnya harus mengungsi.

Karena ada rumah warga yang terbakar dan mereka harus mengungsi, sontak membuat sebagian orang menilai, menyimpulkan dan memberikan stigma yang kurang positif terutama terhadap warga Pelauw/Ory sebagai pihak yang berkonflik dengan Kariu.

Apalagi ada lembaga (keagamaan) yang secara terang-terangan memberikan cap perusuh terhadap warga Pelauw/Ory. Dan juga terkesan menuding ada warga Pelauw/Ory yang memiliki dan menggunakan senjata api.

Namun apakah semua tudingan ini betul? mari kita simak kronologis peristiwa konflik Pelauw/Ory dengan Kariu, setidaknya dalam satu tahun terakhir ini. Sehingga tidak memberikan penilaian secara gegabah, apalagi hingga memfitnah atau menyalahkan satu pihak tanpa ada pemahaman yang jelas terhadap satu persoalan.

Pertama, terkait kepemilikan hak ulayat. Ini adalah konteks utama yang menjadi pemicu konflik. Padahal dalam fakta paling sederhana, hanya ada dua Uli di Pulau Haruku, yakni Uli Hatuhaha (Pelauw, Kailolo, Hulaliu, Kabauw, Rohomoni dan Uli Buang Besi (Aboru, Wasu, Samet, Oma, Haruku).

Pelauw adalah pusat pemerintahan Uli Hatuhaha, memiliki batas petuanan atau hak ulayat dengan semua negeri adat di Pulau Haruku. Tidak hanya menjadi pusat yang penting pada masa lalu, di era modern ini pun oleh pemerintah, Pelauw bahkan dijadikan ibukota kecamatan, dengan populasi penduduk paling banyak di antara negeri-negeri di Pulau Haruku.

Sebaliknya Kariu, yang berpenduduk paling sedikit di antara negeri/desa di Pulau Haruku, dalam berbagai literatur yang ditulis sejarawan, termasuk dalam cerita rakyat, juga toti dan lani (artefak sastra Pulau Haruku), tidak termasuk dalam Uli Hatuhaha atau pun Uli Buang Besi. Padahal salah satu prasyarat untuk memiliki hak ulayat di satu kawasan adat, terutama di Lease/Maluku Tengah adalah harus menjadi bagian dari Uli yang ada di wilayah adat tersebut.

Karena itu kemudian, tidak dikenal adanya Enclave atau Enklave/Enklaf (daerah kantung) yang terpisah dari Uli, atau terselip dan menumpang di dalam wilayah adat di Uli-Uli yang ada. Sehingga yang memiliki hak ulayat atau pertuanan di satu wilayah adat, hanyalah anggota-anggota Uli di kawasan tersebut.

Adapun keberadaan Kariu di antara Negeri Pelauw dan Dusun Ory (lokasi saat ini), karena direlokasi dari pemukiman mereka di samping Benteng New Hoorn tahun 1933. Sebelum itu, warga Kariu dapat tinggal di samping benteng yang ada di sisi timur Negeri Pelauw pun atas jasa Upu Latu Marawakan, Raja Pelauw, yang menurunkan mereka dari Wasi Kariu, yang posisinya berada di antara Negeri Aboru dan Negeri Wassu, tak lama setelah Benteng New Hoorn dibangun pada tahun 1656-an oleh Arnold De Vlaming.

Dalam konteks rumpun Uli, agak sulit untuk diakui atau bisa diterima kalau Kariu memiliki hak ulayat dan petuanan di Pulau Haruku. Karena pada faktanya mereka tidak termasuk atau menjadi bagian dari salah satu Uli yang ada di Pulau Haruku (Uli Hatuhaha dan Buang Besi).

Dalam logika ini kemudian, berusaha menduduki dan menguasai lahan yang juga terdapat situs adat milik masyarakat adat Negeri Pelauw oleh warga Kariu, adalah upaya pencaplokan satu kawasan adat atau hak ulayat. Apalagi menduduki hak ulayat itu dilakukan dengan merusak situs adat Asari Mahu/Ua Rual, sembari mengatakan warga Pelauw pemuja berhala.

Dalam posisi ini, sebagai masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi pranata adat, sebenarnya sangat lumrah apabila ada warga Pelauw yang marah ketika ada hak ulayatnya dicaplok. Apalagi dibarengi dengan pengrusakan situs adat, dan penghinaan atau penistaan.

Namun nyatanya, warga atau masyarakat adat Negeri Pelauw tetap bersabar, menahan diri dan kemudian dengan kepala dingin menyikapi masalah yang ada. Mereka lebih memilih melaporkan ke aparat keamanan atau kepolisian, dan menanti hampir 1 tahun lamanya, sayangnya tak kunjung diproses dengan baik dan responsif.

Bahkan, belakangan kembali terjadi insiden pencaplokan hak ulayat warga Pelauw/Ory oleh warga Kariu di perbatasan Kariu dan Dusun Ory. Lahan yang digarap warga Kariu itu sudah berada di seberang Kariu, yang dibatasi oleh kalimati (Wae Ory Urui). Seperti diketahui banyak sekali batas antara negeri yang satu dengan lainnya di Maluku adalah dengan sungai/kali.

Atas insiden terakhir itu, yang terjadi tanggal 25 Januari 2022, memicu terjadinya konflik terbuka. Pertikaian antara warga Kariu pencaplok tanah dengan warga Dusun Ory/Pelauw, kemudian memantik konflik antara warga kedua kampung bertetangga itu.