JAKARTA (WartaTransparansi.com) – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak (PN), Kalimantan Barat, Kamis (13/01/2022) telah menjatuhkan Vonis terhadap seorang Terdakwa dalam kasus perusakan Masjid Miftahul. Dimana tempat ibadah ini dibangun kelompok umat Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat dengan vonis yang sangat ringan.
Sebelumnya, Kamis (06/01/2022) Majelis Hakim PN Pontianak, telah membacakan Vonis pertama, kepada 22 terdakwa. Yang mana menggunakan pasal Dakwaan melanggar pasal 160 KUHP bagi 3 orang terdakwa tentang kejahatan menghasut. Sedangkan 19 terdakwa lainnya divonis dengan pidana melanggar pasal 170 ayat(1) KUHP, yaitu melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang.
Vonis hakim ini mendapat perhatian dan kritik dari pengamat hukum Petrus Selestinus Kordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Senin (17/01/2022) di Jakarta.
Kata Petrus, sangat mengherankan dari proses hukum pada peristiwa pidana yang didominasi oleh tindakan kekerasan atas dasar SARA. Termasuk mengganggu posisi negara sebagai penjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
“Mereka (red-terdakwa) hanya dikenakan pasal Tindak Pidana biasa yaitu pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP dengan vonis ringan hanya 4 bulan 15 hari pidana penjara, Ini jauh dari rasa keadilan masyarakat dan tidak memberi efek jera apapun bagi pelaku,” kritik Petrus.
Padahal kata dia, sebagai sebuah lembaga Peradilan yang berpijak pada UUD’ 1945, maka Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sudah seharusnya mengkonstruksi kasus pengrusakan Masjid Miftahul Huda dan pembakaran rumah warga Komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, di Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang. Dimana harus dinilai sebagai peristiwa pidana atau kejahatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan)
“Dasar hukumnya ada dalam ketentuan UU No.40 Tahun 2008,Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM dan pasal 82A jo. pasal 59 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas di samping pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP. Jadi beberapa Ormas sesungguhnya telah melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat Penegak Hukum dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan SARA,” jelasnya.
Menurut Petrus, proses penyidikan dan penuntutan yang syarat kompromi bahkan konspiratif, telah merendahkan wibawa hukum, kedaulatan negara dan prinsip negara hukum. Sebab kata dia, dalam peristiwa pidana atau kejahatan SARA, mereka mengkonstruksikan menjadi peristiwa pidana biasa dengan menerap-kan pasal sangkaan dan dakwaan melanggar pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP demi mengabaikan kejahatan SARA dan HAM.
“Ini jelas merupakan sebuah model konspirasi dalam penegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal yang tidak ada korelasinya dengan substansi peristiwa pidana. Padahal yang terjadi yaitu adanya tindakan permusuhan oleh sekelompok Orang atau Ormas terhadap sekelompok masyarakat lainnya atas dasar suku, agama, ras atau golongan secara brutal dan sewenang-wenang dengan mengambialih wewenang penegak hukum,” ungkap Petrus.
SEJUMLAH UU HANYA JADI PAJANGAN
Petrus juga menjabarkan, bahwa tindakan sekelompok masyarakat (Ormas) yang merusak bangunan, mengancam keselamatan nyawa manusia. Bahkan secara hukum meniadakan hak atas kebebasan komunitas Muslim Ahmadiyah dalam menjalankan Ibadah agama dan kepercayaannya.