“Seharusnya kepada mereka diperhadapkan dengan ancaman pidana berat, seperti dimaksud dalam pasal 82A UU No.16 Tahun 2017 Tentang Ormas, berupa pidana penjara maksimum 20 (dua puluh) tahun, UU No. 39, Tahun 1999, Tentang HAM dan UU No.40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” jabarnya.
Dalam kasus ini, aparat penegak hukum seolah-olah alergi dan gamang ketika berhadapan dengan kasus-kasus SARA. Sehingga dalam penegakan hukumnya nampak memberi angin segar kepada kelompok pelaku, berupa penerapan pasal pidana biasa. Dimana dituntut dan divonis dengan pidana ringan, dengan mengabaikan pasal pelanggaran UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU HAM, UU Ormas dan UU Penodaan Agama.
“Vonis ringan kasus kekerasan atas sekelompok Masyarakat atas nama agama terhadap kelompok Masyarakat yang berbeda keyakinan keagamaan (minoritas) atau kasus-kasus penodaan agama terhadap agama minoritas, dengan vonis penjara ringan dalam kasus Terdakwa Yahya Waloni dan kasus Masjid Ahmadiyah Sintang. Hal ini memperlihatkan betapa negara belum bersikap adil dan bijaksana pada kelompok agama minoritas,” jelasnya.
NEGARA INGKARI KOMITMEN
Menurut Petrus, negara justru berada dalam posisi mengingkari komitmennya, dimana negara baru bisa menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Akan tetapi negara belum bisa memberikan jaminan atas kemerdekaan untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannyaannya itu, seperti pada kejahatan persekusi, intoleransi dan tindakan vigilante masih terus terjadi terhadap kelompok agama minoritas.
“Padahal konstitusionalitas jaminan atas kebebasan unuk memeluk agama dan kepercayaan itu setara dengan jaminan atas kemerdekaan melaksanakan ibadah agama dan kepercayaannya itu. Tidak ada gunanya jika negara hanya menjamin warganya untuk bebas memeluk agama dan kepercayaan, tetapi negara abai memberikan jaminan kemerdekaan bagi warganya untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu,” urainya panjang lebar.
Kata dia, Pasal 29 UUD’ 45 ayat (2) menyatakan, bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayannya itu.
“Penjatuhan hukuman yang jauh dari rasa keadilan publik terutama para korban dalam kasus SARA, merupakan pertanda buruk dimana sejumlah aparatur di dalam Lembaga Peradilan (Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) diduga telah terpapar ideologi intoleran dan radikal,” sesalnya.
Terakhir katanya, indikatornya ada sikap memihak dan toleran para hakim terhadap pelaku kejahatan SARA, Intoleran dan Vigilante selama proses hukum.
“Buktinya vonis ringan pelaku Kejahatan SARA di Sintang dan Kejahatan Ujaran Kebencian terhadap terdakwa Yahya Waloni yang hanya divonis 5 (lima) bulan penjara,” pungkasnya. (red)