SURABAYA, Wartatransparansi.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak resmi menetapkan enam orang tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pemeliharaan dan pengusahaan kolam Pelabuhan Tanjung Perak tahun 2023–2024. Kasus ini melibatkan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Persero Regional 3 bersama PT Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) terkait pekerjaan pengerukan (dredging) kolam pelabuhan.
Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Darwis Burhansyah, dalam konferensi pers di Surabaya, Kamis, menyampaikan bahwa tim penyelidik menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan kolam pelabuhan yang dilakukan tanpa dasar perjanjian konsesi serta tanpa surat penugasan resmi dari Kementerian Perhubungan.
“Setelah penyelidik memperoleh alat bukti yang cukup sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP dan dilakukan ekspose perkara, maka penyidik menetapkan enam orang tersangka,” jelas Darwis, Kamis (27/11/2025).
Enam tersangka terdiri atas unsur manajemen Pelindo Regional 3 dan jajaran direksi PT APBS, antara lain AWB, Regional Head PT Pelabuhan Indonesia Persero Regional 3 (Oktober 2021–Februari 2024), HES, Division Head Teknik PT Pelabuhan Indonesia Persero Regional 3, EHH, Senior Manager Pemeliharaan Fasilitas Pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia Persero Regional 3, M, Direktur Utama PT APBS (2020–2024), MYC, Direktur Komersial Operasi dan Teknik PT APBS (2021–2024) dan DYS, Manajer Operasi dan Teknik PT APBS (2020–2024)
Para tersangka akan ditahan di Rutan Kelas I Surabaya dan Rutan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selama 20 hari ke depan, mulai 27 November hingga 16 Desember 2025. “Ini untuk memudahkan penyelidikan lanjutan,” jelas Darwis.
Modus Perbuatan Melawan Hukum
Dari hasil penyidikan, para tersangka diduga melakukan sejumlah pelanggaran, antara lain Melakukan pekerjaan pengerukan kolam tanpa perjanjian konsesi dan tanpa izin KSOP, Melakukan penunjukan langsung PT APBS sebagai pelaksana pekerjaan meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki kapal dan tidak kompeten untuk pekerjaan pengerukan.
Selain itu, Markup HPS/OE hingga mencapai Rp200 miliar tanpa menggunakan konsultan dan engineering estimate, Mengalihkan pekerjaan pengerukan kepada pihak ketiga (PT Rukindo dan PT SAI) tanpa dasar yang sah. Melakukan manipulasi nilai anggaran dan pengadaan tanpa dokumen KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut).





