Dengan Tol Laut, harga barang bisa relatif murah sampai di pelabuhan tujuan karena disubsidi pemerintah. Harga itu bisa lebih murah lagi jika kebutuhan masyarakat dipasok oleh BUMN. Bahan bangunan, pupuk, beras, gula dan lainnya, hampir semua diproduksi BUMN dan bisa tersedia di pelabuhan dengan harga dasar. Demikian pula sebaliknya, komoditas lokal dapat dibeli oleh BUMN holding dan dipasarkan ke wilayah barat. Pemilik komoditas lokal seperti rempah-rempah, kopra, jagung, damar, dan sebagainya, cukup sampai di pelabuhan.
Selanjutnya, BUMN holding yang akan membeli, mengangkut, dan memasarkan komoditas tersebut.
Perlu Prioritas
Di Pelabuhan Badas dan Pelabuhan Bima di NTB misalnya, tersedia gudang namun sering kosong. Demikian pula lahan untuk penumpukan barang, jarang ada yang memanfaatkan. Sama halnya yang terjadi di Pelabuhan Kalabahi, NTT, Donggala, Sulawesi Tengah; atau di Ternate, Maluku Utara; Pelabuhan Tual, Ambon; Poutere, Makassar. Di Jawa Timur Pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo lengang hanya dimanfaatkan kapal perikanan. Pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi yang layak ekpor impor tidak berfungsi demikian pula Pelabuhan Teluk Lamong Surabaya yang menghabiskan dana hampir Rp 4 triliun tergolong idle capacity.
Sebagai ilustrasi Port and Trading Market ini sangat dibutuhkan oleh Koperasi Pelayaran Rakyat (Kopelra) yang mensuplai kebutuhan kapal rakyat. Kopelra Gresik dan Surabaya misalnya, selama ini memasok kebutuhan pokok ratusan kapal untuk konsumsi Anak Buah Kapal (ABK), selain menyalurkan minyak solar bersubsidi. Jumlahnya cukup besar; seperti beras, minyak, gula kopi, gas elpiji dan lauk pauk ABK. Minimal kebutuhan untuk satu minggu melaut.
Barang-barang tersebut seandainya dapat dibeli di area pelabuhan akan mengurangi biaya operasional dan sangat membantu kelancaran usaha Pelayaran Rakyat. Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan konsumen di luar pulau, diharapkan komoditas primer dan sekunder tersedia di kawasan pelabuhan. Efeknya, harga barang sampai di tempat tujuan pemesan akan lebih murah. Kebutuhan barang pokok diyakini akan dimanfaatkan pula oleh pengguna pelabuhan lainnya seperti kapal Pelnas, Perintis dan kapal penumpang.
Idealnya BUMN juga membuat holding untuk mengelola Port and Trading Market yang bertujuan selain menurunkan disparitas harga serta menjaga ketersediaan pasokan barang. Dengan cara ini, konsumen di daearah T3P dapat menikmati harga tidak jauh berbeda dengan di Jawa karena berkurangnya biaya logistik. Memang dibutuhkan upaya luar biasa untuk menggerakan BUMN menciptakan Port and Trading Market di lingkungan pelabuhan Pelindo untuk menjaga mata rantai pasokan.
Adapun pelabuhan yang daerahnya dikelilingi banyak pulau perlu diprioritaskan. Mengutip data dari Kementerian Dalam Negeri, terdapat 8 provinsi di KTI yang tepat dijadikan model proyek percontohan. Daerah-daerah ini meliputi Sulawesi Utara (668 pulau), Sulawesi Tenggara (651 pulau), Kepulauan Riau (2.408 pulau), NTB (864 pulau), NTT (1.192 pulau), Bangka Belitung (950 pulau), Maluku Utara (1.474 pulau), dan Maluku (1.442 pulau). Daerah tersebut umumnya belum sejahtera karena tidak mampu memanfaatkan sumber daya alamnya secara optimal. Jarak antarpulau berjauhan dan jauh dari ibukota provinsi atau kabupaten yang menjadi pusat ekonomi. Tentunya diperlukan regulasi, semisal penetapan HET masing-masing barang, termasuk distribusinya ke wilayah hinterland. Kehadiran Port and Trading Market diyakini akan menstimulan pertumbuhan ekonomi di pulau pulau di sekitar pelabuhan. (*)