Kemudian setelah lulus SMP, lanjut dia, kembali ke Surabaya ikut sang Kakek Sujadi (biasa dipanggil Pak To) dan almarhumah nenek Sumarsih. Tetapi pada saat magang di salah satu show mobil kemudian pindah ke percetakan, mrotol (berhenti, red) sebelum lulus dari SMK Pawiyatan Simo Surabaya.
“Waktu itu, seperti ada yang tidak cocok, jadi tidak melanjutkan. Tetapi sekarang juga sudah tidak ingin sekolah lagi, jualan saja,” tuturnya sembari senyum.
Mengadu nasib ke Mataram NTB mengikuti jejak keluarga, termasuk ayahnya yang sudah lebih dahulu jualan nasi goreng di Bima NTB. “Bapak namanya Ngatiman asli Mojokerto dan ibu Sri Hidayati, saya anak pertama,” ujar pria lajang yakin dengan memilih mencari nafkah dengan jualan Tahu Tek.
Mazda mengaku, jualan Tahu Tek sebagai pelaku usaha mikro dengan sistem setoran dengan prosentase lumayan cukup untuk kebutuhan hidup. Sehingga menekuni jualan ini dengan suka cita.
“Ya Alhamdulillah sejak masa pandemi dan Lombok Raya tutup memang agak kurang pembelinya, dibanding saat sebelum Covid. Tetapi masih mampu menghabiskan 9 lontong dengan ukuran bisa untuk 5-6 piring atau porsi,” tutur Mazda mengakhiri cerita. (Djoko Tetuko)