Selasa, 19 Maret 2024
28 C
Surabaya
More
    OpiniAntara Hak Tolak dan Hak Tobat

    Antara Hak Tolak dan Hak Tobat

    Oleh Djoko Tetuko

    Dunia sepakbola dan dunia pers di Indonesia kini sedang menguji ketentuan pada Pasal 4 (ayat 4) Undang Undang Pers. Tidak mudah memang untuk mengamini bahwa Hak Tolak menjadi wilayah hakim di pengadilan untuk memutuskan dan dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.

    Walaupun pada hakikinya ukuran untuk menerima permohonan Hak Tolak demi kemaslahatan kepentingan umum. Demikian juga hakim dalam memutus perkara benar-benar mempertimbangkan untuk keselamatan bangsa dan negara juga ketertiban umum, yang diyakini dapat mengubah atau memperbaiki kebobrokan atau penyimpangan dalam suatu organisasi.

    Diketahui, menurut beberapa tafsir bahwa kepentingan umum atau ketertiban umum ialah persoalan masyarakat dan mempunyai dampak luas terhadap masyarakat. Juga berdampak pada negara dan bangsa.

    Dengan kata lain,
    kepentingan umum dapat dilihat dari banyak aspek atau bidang. Misalnya kepentingan umum dalam pengertian hukum, sosial, pendidikan, agama dan negara. Intinya menyangkut kepentingan masyarakat luas, bahkan tidak berlebihan berpotensi merugikan bangsa dan negara.

    Kemerdekaan Pers

    Berkenaan dengan acara talk show Mata Najwa Trans 7, yang disiarkan langsung pada hari Rabu, tanggal 3 Oktober 2021, pukul : 20:00 hingga 21:30, dengan tema “PSSI Bisa Apa, Jilid 6. Lagi Lagi Begini”, pada pembahasan mengenai perwasitan ada narasumber yang mengaku sebagai perangkat pertandingan dari PSSI (dengan nama atau identitas disamarkan), telah menyatakan sudah 10 kali mengetahui ada pengaturan skor atau pengkondisian pertandingan. Bahkan menyatakan sudah dua kali melakukan sendiri.

    Pernyataan narasumber inilah memantik persoalan perdebatan soal Hak Tolak dan Hak Tobat. Sebab PSSI sebagai pihak dalam “tuduhan” sekaligus dirugikan dalam acara itu sudah dihakimi pada judul tema “PSSI bisa apa?” Dengan gambar ilustrasi bola dan uang.

    PSSI melalui Ketua Komite Wasit Ahmad Riyadh UB P.hD menuding presenter Najwa Shihab sengaja menyembunyikan perangkat pertandingan yang sudah jelas-jelas melakukan tindak kriminal.

    Baca juga :  Tidak ada Jalan Tol Menuju Surga

    Bahkan untuk menyelesaikan tuduhan dan penghakiman terhadap PSSI, meminta membuka identitas narasumber untuk segera diberi sanksi sesuai peraturan atau statuta PSSI.

    Sementara Najwa Shihab bersih kukuh bahwa strategi menayangkan narasumber merupakan Hak Tolak bagi wartawan untuk mengungkapkan berbagai masalah yang tidak mudah diperbaiki.

    Inilah kajian dengan ilmu pengaturan dan akhlak mulia. Karena berdasar pengalaman ketika wartawan sudah menyatakan melindungi Hak Tolak narasumber sudah menjadi semacam tradisi akan mengorbankan profesi dan jati diri walaupun harus memikul hukuman penjara sekalipun. Hak Tolak menurun Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang, merupakan “Mahkota Wartawan”.

    Tidak mudah memang membedakan Hak Tolak dengan status narasumber mempunyai data dan pengetahuan kuat tentang suatu masalah juga mampu menjaga kehormatan dirinya tidak terkontaminasi dengan kebobrokan atau penyimpangan.

    Tetapi apakah menjadi tetap sah bagi seorang wartawan dengan narasumber terlibat tindak perilaku kriminal, hanya untuk mengumbar isu-isu tanpa penyelesaian kemudian menggunakan perisai Hak Tolak.

    Oleh karena itu, tidak berlebihan jika membandingkan antara Hal Tolak dan Hak Tobat. Sebab kalau sang wartawan bersih kukuh menyatakan menolak, maka pilihannya adalah hukuman penjara.

    Tetapi, jika melindungi narasumber, karena benar-benar jujur dan benar tidak terlibat tindak kriminal menobatkan wartawan meraih mahkota. Bahkan tidak berlebihan “Mahkota dunia dan akhirat”. Sebuah kesempurnaan profesi dengan fungsi menyiarkan karya jurnalistik untuk melakukan kontrol sosial.

    Hanya saja jika melindungi narasumber hanya untuk popularitas. Bahkan (maaf) hanya untuk memojokkan, menuduh dan menghakimi pihak tertentu, katakan saat ini PSSI. Tanpa berniat memperbaiki atau mengubah kebobrokan menjadi kebaikan. Apakah dibenarkan dalam profesi wartawan.

    Tentu saja tidak mudah mengurai, tetapi sekedar introspeksi sebagai pembanding bahwa wartawan juga punya hak sangat spesial, yaitu Hak Tobat, hak dalam UU Pers disebut sebagai Hak Jawab dan Hak Koreksi.

    Hak Tobat ini jika pemberitaan wartawan salah, maka ketika masyarakat atau pihak terkait meminta pembenaran dibolehkan meminta Hak Jawab. Dan hak melakukan tobat dengan sungguh-sungguh mengakui jika ada kesalahan kemudian memberikan porsi jawaban yang sesuai, itulah Hak Tobat wartawan karena tuntutan.

    Baca juga :  Puasa sebagai Media Self Control

    Hak Tobat wartawan karena diingatkan dituntut oleh pihak terkait juga berlaku pada Hak Koreksi, atau dalam bahasa l
    memasyarakat adalah tobat kecil. Hak melakukan tobat kecil ini jika menyadari bahwa telah melakukan kesalahan atau kekhilafan.

    Kata tobat dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab taubat, yang berakar dari kata ta-ba yang berarti kembali, pulang, dan bersarang.

    Pertobatan adalah aktivitas meninjau atau menelaah tindakan-tindakan yang pernah diperbuat atau menyesali kesalahan-kesalahan pada masa lampau, yang disertai dengan komitmen untuk berubah menjadi lebih baik.

    Inilah jembatan emas karya jurnalitik wartawan meraih “Mahkota dunia dan akhirat” atau memperoleh “Masalah dunia dan akhirat”.

    Mengapa? Tidak mudah membuka Hak Tolak dengan sekonyong konyong walaupun untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan. Juga tidak mudah mengajak wartawan menggunakan Hak Tobat (ketika melakukan kesalahan dan kekhilafan) walaupun itulah “Mahkota Wartawan”. sssungguhnya.

    Menyadari bahwa dalam rangka menjunjung tinggi kemerdekaan pers, sebagaimana pada pertimbangan UU Pers, maka ada baiknya sekedar membaca sejenak amanat pada pertimbangan itu:

    bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.

    bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
    yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

    bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun

    Baca juga :  Tidak ada Jalan Tol Menuju Surga

    bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

    Keadilan sosial sebagai amanat sila terakhir Pancasila untuk mewujudkan semua sila.
    “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

    Gengsi

    Tidak mudah memang, karena Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

    Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak koreksi digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi yang menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, ataupun media siber.

    Hak koreksi ini telah diatur oleh pemerintah dan Dewan Pers Indonesia dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.[1] Peraturan tentang hak koreksi ini dimuat dalam pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11, dan pasal 15.

    Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hak koreksi juga merupakan bagian dari Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi oleh semua wartawan dan perusahaan media.

    Berdasarkan Pasal 5 UU Pers, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

    Berdasarkan hal itu pula, pers dan wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional.

    Hak tolak sendiri dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan

    Sekali lagi tidak mudah menjalankan Hak Tolak dan Hak Koreski dengan sungguh-sungguh. Mengapa? Karena ada gengsi dan pertaruhan jati diri. Di atas sekedar menjaga profesi tetap profesional. Inilah sekadar introspeksi antara Hak Tolak dan Hak Tobat.(*)

    Penulis : Djoko Tetuko

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan