Bagaimana kalau Anda, atau keluarga Anda, yang sedang dalam pembinaan pemerintah, terbakar hidup-hidup hingga meninggal dunia, justru di gedung milik pemerintah? Tragedi ini terjadi di Lapas Kelas Satu Tangerang, Banten, Rabu (8/9/21) silam.
Yang meninggal pun bukan satu atau dua orang, melain 45 orang: lebih dari tujuh regu bola voli! Hingga seminggu setelah korban hangus, baru 10 jenazah yang dapat diidentifikasi tim Polri.
Wajarlah bila Anda marah. Wajar pula bila Anda menuntut tanggung jawab pemerintah. Justru tidak wajar—meski bukan kurang ajar–bila Anda berdiam diri.
Sudah semestinya pula pers, wakil rakyat, intelektual, dan aktivis pro demokrasi, mendesak pemerintah menanggulangi masalah ini dengan tuntas dan menyeluruh.
Pemerintah bukan hanya dituntut menyelesaikan kasus kebakaran itu belaka, tetapi secara menyeluruh. Pasalnya, persoalan yang “menggemparkan” berulang kali terjadi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkhumham) RI.
Di bawah kepemimpinan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, lebih dari tujuh kali warga binaan kabur dari lapas. Satu kali, 5 Mei 2017, mereka kabur berjamaah: lebih dari 400; dengan santai lenggang-kangkung keluar dari Rumah Tahanan Kelas II B Sialang Bungkuk, Pekanbaru, sebagaimana ditayangkan berbagai televisi swasta.
Pelarian warga binaan ini tercatat sebagai yang terbesar di dunia, sehingga pantas dimasukkan ke Guinness of World Record, setidaknya Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI)!
Dengan rentetan problem yang melingkupi Yasonna, menteri ini tetap tampil PD alias percaya diri dengan topi koboinya. Seolah-olah tidak pernah ada rasa prihatin mendalam atas aneka ragam kekisruhan yang diciptakannya, apalagi langkah-langkah sistematis dan terukur untuk memperbaikinya.
Ia memang meminta maaf atas kesalahannya. Tetapi, sebagaimana lirik lagu hit Kerispatih, “Tapi Bukan Aku”, maka, ‘Sejuta kata maaf terasa ‘kan percuma…’ tanpa perbaikan nyata.
Mencermati berbagai kekacauan di Kemenkumham, sebenarnya tidak susah-susah amat memperbaikinya. Tindakan cepat yang mesti segera diambil adalah mengganti Menkumhan Yasonna Laoly. Bukankah masih banyak orang di republik ini yang mampu memimpin Kemenkumham?
Tetapi di sinilah masalah besarnya.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), pemimpin tertinggi eksekutif Indonesia, hanyalah seorang petugas partai. Ia tidak berdaya mengambil keputusan terhadap anak buahnya yang ditugasi partai menempati jabatan tertentu.
Alhasil Jokowi tidak terdaya mengganti Yasonna, meski sejak kabinet pertama Jokowi, Yasonna mencetak prestasi buruk. Tak heran bila sebagian orang menganggap Jokowi hanyalah “Presiden Boneka”; “boneka” yang diatur oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), lebih tepatnya “boneka” yang diatur Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri.
Dalam hal ini, Jokowi bukan Presiden RI yang mengemban tugas Undang-Undang Dasar 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menyedihkan memang!