Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 3 Tamat)

Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 3 Tamat)
Anwar Hudijono

Orang yang sudah mati juga gak ngurus apa dimakamkan di pemakaman umum atau di pemakaman khusus Covid-19. Memang kalau di pemakaman khusus pertanyaan kuburnya berbeda? Siksa kuburnya didiskon?

Kesabaran mereka itu seperti lautan. Diprovokasi, dijejali hoax, dipropaganda, didisinformasi tetap tak berubah.

Otoritas

Langkah pesantren ini, insya Allah sudah mengilhami banyak penyelenggara sekolah. Mereka semakin berakal sehat menyikapi Covid. Mempertanyakan yang disiplin prokes seperti Doni Monardo, Anies Baswedan, Khofifah juga kena Covid. Yang di pasar sehari-hari nyaris tanpa prokes tidak apa-apa. Yang sudah vaksin bisa terinfeksi. Terus apa?

Kok seperti gak pernah ada berita mall, café, sarana dugem jadi sarang Covid. Kalau ada sekolah atau pesantren yang kena, dunia maya seperti mau runtuh. Orang yang tidak percaya Covid terinfeksi jadi berita dahsyat. Orang yang percaya Covid dan terinfeksi senyap dari pemberitaan.

Diam-diam sudah banyak sekolah melakukan tatap muka. Wisuda sekolah pun dilakukan sembunyi-sembunyi. Ada yang pakai sistem drive thru. Sudah membuat festival. Dan itu bagus. Dan aman-aman saja.

Para guru sangat mafhum bahwa pendidikan tidak identik dengan sekolah. Sekolah tidak identik dengan kelas. Kelas tidak identik dengan sepetak ruang dengan papan tulis dan meja-kursi. Belajar biasa di mana saja. Jadwal bisa diatur. Di situlah mereka berkreasi untuk keluar dari ancaman matinya budaya belajar.

Penyelenggara sekolah, kepala sekolah para guru sebenarnya sudah mampu melepaskan diri dari cenkeraman Covid-19. Tapi masih ada yang mencekeram mereka yaitu pihak otoritas. Bisa itu yayasan, organisasi yang menaungi. Juga otoritas lain. Nah, siapa otoritas lain itu? Di sini saya juga bertakon-takon.

Konon sebenarnya sudah banyak yayasan dan organisasi yang sudah lepas dari cengkeraman paranoid pandemi Covid-19. Tapi mereka masih bersikap hati-hati dan bijaksana. Khususnya kalangan muslim. Sebab bisa muncul fitnah yang tak kalah dahsyat bahwa umat Islam itu melawan pemerintah. Tidak mau taat. Nah, akan menciptakan pandemi fobia Islam. Bisa menjadi pemantik dahsyat kerusakan sosial, bahkan negara.

Di banyak belahan dunia, kini dunia pendidikan banyak berharap kearifan otoritas. Sayangnya, kadang pendidikan itu justru berada di bawah orotitas subyek yang tidak paham pendidikan. Lebih peduli urusan uang dibanding sumber daya manusia. Yang paling tragis itu jika otoritas lebih percaya bahkan menghamba kepada artificial intelligent (AI) dibanding kemanusiaan.

Dan siapakah operator terbesar artificial intelligent global ini? Jangan tanya saya. Karena paling-paling akan saya jawab, “Embuuuh hahahaa.”

Teliti dulu

Di akhir tulisan ini, saya mohon pembaca tidak begitu saja setuju, like dan share tulisan ini. Hati-hati. Teliti dulu. Apalagi ini tulisan orang yang sangat awam.

Ini era disinformasi. Di ranah publik sudah tidak jelas mana hoax dan mana yang benar. Mana info palsu dan mana yang ori. Campur baur tidak keruan. Orang-orangnya pun juga tidak jelas mana yang fasik mana yang baik.

Kita harus belajar cerdas dan bijaksana menyikapi setiap informasi. Untuk itu, ikutilah petunjuk Allah dalam Quran surah Al Hujurat 6: “Wahai orang yang beriman jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu”.

Astaghfirullahal adhim.

Rabbana atina min ladunka rahmah wa hayyiklana min amrina rosada. Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (Quran, Kahfi 10).

Rabbi a’lam (Tuhan lebih Tahu)