banner 728x90

Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 2)

Di Tengah Covid, Pesantren Menjaga Budaya Belajar (bagian 2)
Anwar Hudijono

Oleh Anwar Hudijono (Penulis tinggal di Sidoarjo)

Ketika pertama kali Covid-19 muncul, seperti masyarakat pada umumnya, ada kalangan pesantren yang sempat kaget dan panik. Itu manusiawilah. Nabi Musa saja sempat takut dan panik ketika baru melihat ular-ular tukang sihirnya Firaun.

Tapi setelah mendapat petunjuk Allah bahwa ular-ular itu hanya tipuan, halusinasi, tidak nyata, Musa tenang. Dan meneruskan jihadnya menyampaikan risalah Allah kepada Firaun. Dan Musa menang.

Malah ada seorang kiai sepuh di daerah Nganjuk sejak awal bersikap tenang. Seperti tenangnya gunung tatkala diterpa angin. Menyatakan Covid-19 tidak ada. Pandangan itu tak pernah bergeser seincipun.

Blak-blakan saja saya semula menganggap Mbah Kiai ini sekadar anti-mainstream. Kurang informasi. Gagal paham. Kurang piknik. Tapi lama-lama saya jadi mikir, jangan-jangan maksud kalimat “Covid-19 tidak ada” ini berbeda antara Mbah Kiai dengan saya. Jangan-jangan karena instrumen yang digunakan Mbah Kiai berbeda dengan yang saya pakai. Mbah Kiai mungkin melihat Covid ini dengan mata batin (bashirah), sementara saya ini memahami dengan mata handphone.

Saya mulai mikir, jangan-jangan justru saya ini yang gagal paham bin keblinger karena terlalu banyak membaca, melihat informasi tentang Covid-19. Ini bukan era informasi tapi disinformasi. Jangan-jangan yang saya baca, lihat, dengarkan melalui medsos, media mainstream itu disinformasi. Yang saya anggap benar sebenarnya palsu. Dan yang saya anggap palsu justru benar. Campuran hoax dan fakta. Tidak jelas mana yang benar dan mana yang palsu. Sudah bercampur baur yang hak dan yang batil. Dalam istilah fiqih disebut syubhat. Kira-kira artinya remang-remang.

Jangan-jangan ibaratnya saya mengkonsumsi narkoba. Awalnya merasa ragu. Terus merasa nikmat. Lama-lama kecanduan. Lama-lama otak saya rusak. Semakin mengkonsumsi informasi Covid-19 menjadi semakin paranoid, semakin sok tahu, dan akhirnya terperangkap dalam iklim disinformasi.

Saya mulai mikir lagi tentang Hadits Rasulullah: “Sungguh demi Allah. Ada sesorang mendatangi dalam keadaan mengira bahwasanya dia itu beriman. Namun, pada akhirnya malah menjadi pengikutnya disebabkan syubhat-syubhat yang dia (Dajjal) sampaikan. (HR Ahmad). (A’udzubika min syarri masihid-dajjal.)

Nabi Hidlir

Ingat Mbah Kiai ini saya jadi ingat Nabi Hidlir. (Bukan bermaksud menjustifikasi Mbah Kiai ini seperti Hidlir). Hidlir tinggal sendirian di pertemuan dua samudera. Tidak pernah ke kota. Tapi dia mengetahui pemilik rumah reyot yaitu dua orang anak yatim anak orang saleh. Di dalam tanah di bawah rumah itu tersimpan harta karun. Musa yang menggunakan mata eksternal tidak mengetahuinya.

Hidlir tidak pernah bergaul dengan para nelayan, tetapi paham betul akan ada penguasa dzalim yang hendak merampas perahu para nelayan itu. (Pelajaran dari Allah itu implisit di dalam kisah Musa-Hidlir yang tertuang di dalam Quran, Kahfi 60-82).