Dan ketiga, supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka pidananya harus diturunkan, harus di bawah lima tahun.
“Itu pun kita masih dalam rangka merespon terhadap kekhawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Habiburokhman perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 219 KUHP. Jadi hemat saya pasal ini tetap perlu dipertahankan, tetapi dengan formulasi yang baik yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin,” jelas Arsul.
Dia pun menjabarkan, agar tidak hanya melihat sisi pandang internal, tapi juga perlu melakukan benchmarking atau tolok ukur, tentang hukum yang terkait penyerangan pemegang kekuasaan, khusunya kepala negara di negara-negara lain.
Ia melihat, begitu banyak negara-negara demokrasi seperti kita, bahkan yang tradisi demokrasinya lebih lama dari kita, tetap mempertahankan less majesty, ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan matabat pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara.
“Contoh, kita bisa baca di pasal 115 KUHP-nya Denmark, di sana juga ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Pasal 101 KUHP Islandia, itu juga ancamanya 4 tahun,” ungkap Arsul. ***