Oleh : HS. Makin Rahmat
Peristiwa gerhana bulan total yang terjadi pada Rabu, 26 Mei 2021 atau 15 Syawal 1442 merupakan kejadian langka. Dalam catatan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyebut selama 2021 akan terjadi dua peristiwa gerhana bulan (26 Mei dan 19 November) serta dua gerhana matahari (10 Juni dan 4 Desember).
Bila mengikuti ritme sejarah, terjadinya peristiwa gerhada bagian fenomena alam atas kehendak Allah SWT. Sayangnya, fakta dari gerhana menimbulkan persepsi dan tradisi budaya. Masyarakat di Jawa percaya bahwa gerhana terjadi karena raksasa jahat Batara Kala sedang menelan bulan. Menjadi mitos bagi yang percaya dengan memukul-mukul lesung padi ketika gerhana bulan, dengan harapan Batara Kala akan merasa geli dan mual sehingga bulan yang ditelannya akan dimuntahkan lagi.
Bagi masyarakat Dayak membunyikan gong atau benda apa saja agar bulan muncul kembali saat Gerhana Bulan datang. Mitosnya, gerhana terjadi akibat bulan ditelan makhluk gaib bernama Ruhu. Tradisi Masyarakat Tidore menyebut tradisi Dolo-Dolo, yaitu memukul kentongan dari bahan bambu secara bersamaan saat terjadinya gerhana bulan dengan tujuan mengusir raksasa yang menelan bulan.
Begitu pula tradisi di belahan bumi. Setidaknya, di Negara Matahari Jepang lebih khas, menganggap dewa Matahari sedang marah. Untuk itu masyarakat di negeri Sakura ini memohon keberkahan dengan membuka sumber air (sumur) agar terhindar dari musibah.
Lantas bagaimana dengan pandangan masyarakat Timur Tengah dan Islam sendiri? Sebetulnya tidak beda dengan tradisi di belahan bumi, peristiwa gerhana dikaitkan kemurkaan penguasa atau roh jahat.
Kontroversi bangsa Arab awalnya percaya gerhana terjadi rentetan wafatnya putra Baginda Rasulullah SAW, sayyid Ibrahim dari Maria Al-Qibtiyah binti Syam’un (Istri Jariyah dari penguasa Mesir, Juraij bin Mina Al-Mukaukis) yang wafat saat terjadi gerhana matahari, sesuai hadits : Dari Abdurrohman bin Hasan bin Tsabit dari ibunya Sirin katanya: “Saya telah menghadiri kematian Ibrahim putra Rasulullah SAW. Dan pada hari tersebut terjadi gerhana matahari. Lantas orang kasak-kusuk bahwa gerhana tersebut terjadi karena wafatnya Ibrahim, kemudian Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya matahari dan bulan itu dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, tidaklah keduanya gerhana karena mati atau hidupnya seseorang.”
Sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, umat Islam dianjurkan (sunah muakkadah) melaksanakan salat gerhana, walaupun dalam posisi gerhana bulan sebagian. Sejak disyariatkannya salat gerhana, pada 14 Jumadal Akhir 4 H (20 November 625) sampai Rasulullah SAW wafat hari Senin Legi, 12 Rabi’ul Awal 11 H (6 Juni 632) terjadi 3 kali gerhana matahari dan 5 kali gerhana bulan.
Rasulullah SAW sendiri melakukan salat gerhana hanya dua kali. Yang pertama saat gerhana bulan, 14 Jumadal Akhir 4 H (20 November 625) dan saat gerhana matahari, 29 Syawal 10 H (27 Januari 632). Kenapa Rasulullah hanya salat satu kali gerhana bulan dan satu kali gerhana matahari, menurut hisab masih terjadi 4 kali gerhana bulan dan 3 kali gerhan matahari? Memang betul secara hisab terjadi beberapa kali gerhana bulan dan matahari namun waktu terjadinya gerhana bulan maupun matahari terlalu dekat dengan terbit dan terbenamnya bulan atau matahari, sehingga waktunya sempit.
Berdasarkan uraian di atas, amalan ketika terjadi gerhana, yaitu memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya. Dari ’Aisyah RA, beliau mengatakan, “Aisyah RA menuturkan bahwa zaman Nabi SAW pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang memanggil jamaah dengan: ‘Ash Shalatu Jami’ah (mari lakukan salat berjamaah). Orang-orang berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua rakaat.” (HR. Muslim No. 901) . Dalam hadits ini tidak diperintahkan mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana. Usai salat dilanjutkan dengan memberikan khutbah.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, No. 1044). Khutbah dua kali sebagaimana Khutbah Jumat dan Khutbah Ied.
(Kifayatul Akhyar, hal. 202).
Dari sabda Baginda Rasulullah SAW, tentulah kita harus mampu mengambil hikmah. Dari anjuran menunaikan salat, memperbanyak takbir, istighfar, dan bersedekah merupakan sinyal kehidupan untuk selalu waspada dan hati-hati. Bahwa berbagai peristiwa dan kejadian, seperti adanya virus Corona, termasuk gerhana matahari dan bulan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Yang Maha Berkuasa atas semesta alam.
Dengan kita melaksanakan salat gerhana, insha-Allah terjaga dari berbuatan keji dan munkar, menyadari segala kekhilafan dengan memohon maaf dan berbagi sedekah kepada sesama. Yakinlah, ketika kita mampu membantu kesulitan orang lain, maka kesulitan dan persoalan kita telah diselesaikan oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal ‘alamiin. Wallahu a’lam bish-showab. (*)
*) Ketua LPBHNU Sidoarjo dan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Timur. (*)