Suatu kali saya ingat, suatu sore datang seorang teman wartawan film namanya Gagar Mayang Dia datang untuk curhat.
Ceritanya, puterinya mendadak dibatalkan oleh gurunya untuk ikut Paskibraka. Pokok soalnya, menurut cerita Gagar Mayang, sejak gagal itu, anaknya menjadi pemurung, tidak punya nafsu makan.
Dia khawatir pada perkembangan putrinya, Gagar minta teman -teman mendukungnya menuntut guru sekolah anaknya. Saya setuju. Teman-teman mendukung.
Terakhir ia minta pandangan ke Setiadi Tryman. Namun, Setiadi tidak setuju. Dia mengajukan pandangan lain. “ Coba cek dulu ibunya anak kamu Gagar. Anaknya dikasih makan apa, lauknya apa? Data ini penting diketahui “ tanya Setiadi.
Gagar langsung menukas: apa hubungannya Mas? “ Ya, banyak. Seumpama anak itu dikasih makan dengan lauk ikan asin, masuk akal kalau dia tidak nafsu makan. Dan, itu berarti tak ada hubungsn dengan larangsn gurunya. Jangan anakmu, gurunya pun saya khawatir tidak nafsu makan juga kalau lauknya ikan asin,” papar Setiadi serius.
Semua terdiam menyimak pandangan itu. Yang gusar hanya Gagar Mayang seorang. Rencana gugatan kepada guru itu memang tidak berlanjut.
Setiadi sepengetahuan saya memang tabu untuk menggunakan cara konfrontasi dalam menyelesaikan masalah. Dia meyakini dialog atau saling mendengar adalah kuncinya.
Teman yang curhat diminta cari tahu secara jelas duduk perkara suatu masalah dengan pendekatan humoristis supaya soal berat pun jadi ringan. Contoh tadi itu.
Betapapun tak puas, toh kekesalan Gagar bisa diredam dengan humor. Bicara soal diplomasi humor Setiadi memang ahlinya.
/Surat-Surat Nyasar
Karya Setiadi Tryman dalam karir sebagai wartawan
maupun orang film banyak yang bisa dikenang. Ia menulis banyak sekenario film dan rubrik ” Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan melagenda. Di rubrik yang digawanginya itu srmua masalah yang dibahas, serumit apapun, dipecahkan dengan selera humor tinggi.
Tak heran jika Surat-Surat Nyasar memiliki pembaca fanatik dalam jumlah besar. Di tangan Setiadi humor menjadi serius. Atau hal serius bisa encer dibuatnya dalam kemasan humor.
Gayanya kritis tapi tidak menyakiti, nyeleneh, tapi mengundang senyum.
Atas permintaannya setelah pensiun, Surat-Surat Nyasar itu dilanjutkan pemuatannya di Tabloid Cek& Ricek. Sempat terbit beberapa tahun sampai Setiadi sendiri menghentikan karena tidak punya waktu banyak lagi untuk mengisinya secara rutin.
Surat-Surat Nyasar di Sinar Harapan maupun di Tabloid C&R menggunakan logo karikatur wajah Setiadi Tryman.
Beberapa kali Setiadi sempat menyambangi saya di kantor C&R. Ngobrol – ngobrol sambil bersenda gurau.
Belakangsn lama kami tidak berkomunikasi lagi. Berita duka kepergiannya yang beredar di WAG membuat saya sedih, saya membuka kembali kenangan-kenangan manis selama persahabatan kami tempo hari.
Setiadi Tryman lahir di Demak, Jawa Tengah. Setamat SMA, ia melanjutkan kursus manajemen, seni drama HBS di Solo (1955), ATNI di Solo (1957) dan Workshop film Directing (KFT). Sebelum terjun ke dunia film ia menjadi wartawan. Dari Berita Indonesia (1960), Sinar Harapan (1962-1986), kemudian memimpin surat kabar Suara Pembaruan. Anggota Dewan Film Nasional ini juga anggota PWI yang terjun pertama kali di dunia film sejak tahun 1964 sebagai penulis skenario.
Kini Setiadi Tryman, sahabat yang sekaligus mentor itu telah pergi mendahului kita .Selamat jalan sahabat senior dan mentor kami. Semoga Tuhan memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya. (*)