Tajuk  

Supersemar, Orde Baru, dan Penjajahan Baru

Supersemar, Orde Baru, dan Penjajahan Baru
H. Djoko Tetuko Abdul Latief

Oleh Djoko Tetuko – Pemimpin Redaksi Wartatransparansi

Almarhum KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dalam ceramah kebangsaan kenyataan bahwa kemerdekaan Indonesia, hanya dinikmati segelintir orang saja, tidak kurang sekitar 41 orang menguasai kekayaan alam negeri ini, sekaligus mengendalikan peredaran berbagai kebutuhan primer maupun skunder.

Salah satu kesalahan terbesar ketika kekayaan bangsa dan negara Indonesia, dialihkan dengan merancang suatu undang-undang dan mempersilahkan investasi asing bukan sekedar berdagang di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi berhak memiliki dan menentukan kebijakan dalam perdagangan global.

Hari ini, 11 Maret 2021, sekedar mengingatkan bahwa pada masa Orde Baru begitu populer Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), begitu sakral menyebut nama Supersemar sebagai cikal bakal pemerintahan Orde Baru.

Dalam sejarah NKRI, presiden RI ke-2, Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun mengendalikan Pemerintahan Orde Baru, dunia percaturan politik pemerintahan banyak berubah dengan kebijakan baru. Bahkan Indonesia tiba-tiba tidak lagi mempunyai pengaruh begitu menentukan dalam perjalanan menuju kehidupan dunia merdeka, adil, dan makmur dengan memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara berkeadilan.

Kini semua pengamat sudah banyak “diam” tanpa mampu menyampaikan kritik konstruktif. Kini Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sebutan “miniatur surga” hampir 300 juta penduduk hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Kekayaan alam, politik perdagangan, kehidupan petani , peternak, nelayan dan berbagai sendi kehidupan serta usaha lain, hanya memainkan kulit-kulit saja. Kepemilikan dan pengendalian dalam penguasaan segelintir pengusaha. Semua berjalan baik dan legal karena sudah berpegang pada berbagai undang-undang sebagai tameng sekaligus seakan-akan sebagai alat “membungkam” bahwa bangsa Indonesia cukup hanya menjadi penonton balapan di sirkuit milik sendiri. Hanya pandai tepuk tangan dan bersorak sorak, tetapi jangan mimpi naik podium menjadi juara karena memang bukan peserta lomba.

Pemerintah Orde Baru ketika itu mulai banyak memberikan kelonggaran peraturan perundangan mempermudah, pengusaha dan segelintir orang menguasai hak dan hajat hidup orang banyak, bahkan kebijakan mengurungkan orang-orang itu saja, karena tameng peraturan perundangan. Padahal memang berdasarkan undang-undang itulah sesunguhnya alat utama sebagai sebuah konstitusi yang menjerumuskan bangsa sendiri.

Tentu saja bukan hanya pemerintahan Orde Baru, tetapi bahwa sejarah mencatat intervensi asing semakin menguat sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa. Juga kebijakan baru kadang belum mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa sesuai cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945.

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar, sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri”. Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden’ Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.