Membaca Habib Rizieq dalam Perspektif Kultur Politik Jawa

Membaca Habib Rizieq dalam Perspektif Kultur Politik Jawa

Oleh Anwar Hudijono

Blak-blakan saja, salah satu misi saya menulis tentang Habib Rizieq Shihab (HRS) ini untuk numpang beken. Nggandul popularitas. Siapa tahu katut viral layaknya perahu gabus terbawa arus sungai. Jika dibuat analog, saya ini seperti laron yang mendekati lampu neon yang menyala sendirian di tengah perempatan jalan.

Seekor laron yang terbang di dekat lampu neon akan terlihat keren. Lantas jadi inspirasi menulis puisi: sang laron menari-nari. Coba laron terbang di bawah gelapnya rerimbunan pohon keres, mana ada yang peduli.

Yang mendatangi lampu neon tidak cuma laron seorang. Tapi juga banyak laron lain. Banyak lagi serangga seperti mrutu, nyamuk, capung, kaper, manyang. Bahkan serangga berbau tidak enak seperti kepik dan walang sangit juga mendatangi. Seandainya garangan dan nyambik bisa terbang, mungkin juga akan mendatangi. Yang pasti juga mendatangi adalah cicak karena hendak mencari makan dengan memangsa serangga.

Neon menyala sendirian di tengah perempatan jalan memang menarik perhatian. Apalagi ketika neon-neon yang lain meredup atau bahkan padam. Benar-benar sesuatu banget.

Dalam sudut padang kultur politik Jawa, HRS saat ini ibarat orang yang sedang melakukan pepe ing sangandhaping bandhera sinengker (berjemur di bawah kibaran bendera pusaka negara) yang terletak di tengah alun-alun. Sedang alun-alun itu berada di depan paseban agung, tempat raja menerima para tamu untuk menghadap. Tujuan orang yang melakukan pepe adalah untuk bisa berdialog langsung dengan raja.

Pepe adalah insitusi sakral. Merupakan pengejewatahan atas penghormatan terhadap hak asasi manusia yaitu kebebasan. Kebebasan adalah fitrah manusia. Siapapun tidak boleh melarang. Bahkan raja pun tidak berani menghapuskan. Siapapun, meski hanya wong cilik ongklak-angklik (rakyat kecil papa) yang melakukan pepe, harus dijamin keselamatannya. Tidak boleh diintervensi. Apalagi dipidana.

Pepe adalah proses politik di mana rakyat ingin bertemu dan berdialog langsung dengan rajanya. Biasanya sebagai ikhtiar terakhir rakyat untuk mendapat keadilan. Menyampaikan aspirasi karena saluran formal yang ada sudah benar-benar buntu.

Saat melakukan pepe, seseorang atau sekelompok orang akan duduk di bawah kibaran bendera kerajaan. Hal itu sebagai simbol perikeberadaan mereka sah. Dijamin negara. Meneguhkan tujuan pendirian negara yaitu untuk melindungi setiap warga negara dan tumpah darahnya.

Para raja dulu menjaga kesakralan eksistensi pepe ini. Mungkin hanya Raja Mataram Amangkurat I yang melecehkan wilayah bawah kibaran bendera. Justru di situ dia membantai ribuan ulama dan keluarganya secara kejam bin sadis. Dia tercatat sebagai raja Jawa paling horor dan teror. Matinya mengenaskan. Dia mati sebagai buron dan nyawanya melayang karena diracun anaknya sendiri, Amangkurat II.

MANUNGGALING KAWULA-GUSTI

Tujuan menjaga kesakralan eksistensi pepe ini untuk memelihara manunggaling kawula-gusti (kemanunggalan rakyat dan raja). Rakyat bisa dialog langsung dengan raja itu adalah salah satu perwujudan kemanunggalan. Dalam kultur politik Jawa rakyat dan raja itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat susetya (akik) dengan embannya.

Betatapun indahnya akik tetapi kalau tidak ada embannya juga tidak terlihat. Apalagi kalau hanya dimasukkan slepi (tas kulit kecil). Demikian pula emban tanpa akik tidak berharga.

Kemanunggalan rakyat dan raja tidak hanya dalam konteks birokrasi-administratif secara formal. Diikat dengan peraturan perundang-undangan. Dibingkai dengan hak dan kewajiban hasil rekayasa manipulatif hukum. Dalam konsep kultur politik Jawa ditegaskan haruslah kemanunggalan yang diikat oleh cinta kasih. Nyawiji welas asih lahir tumusing batin (luruh menyatunya cinta kasih lahir dan batin).

Para raja Jawa yang bijaksana akan selalu menjaga welas asih rakyatnya. Tidak mau rakyat patuh dan hormat kepada dirinya karena ketakutan. Terpaksa. Di depan kayak yak-yako hormatnya, tapi di belakang menyumpahi. Di mulutnya mendoakan panjang umur, sejahtera, tetapi di batinnya mendoakan ndang matio (segera mampus) disamber mbledek (disambar petir).

Raja-raja Jawa sangat mafhum bahwa wilayah kekuasaan raja itu seluruh negara. Kekuasaannya meliputi seluruh rakyatnya. Bahkan raja bisa masuk ranah pribadi rakyatnya. Sampai-sampai jaman dulu ada raja yang bisa minta istri rakyatnya.

Tapi para raja juga sadar bahwa aparat di bawahnya bisa membuat kekuasaan raja hanya sebatas singgasananya. Membuat tetek bengek protokol yang mempersempit ruang gerak raja. Akhirnya raja menjadi subyek yang terasingkan. Kesepian. Ia menjadi setitik embun yang cermerlang tapi sendirian bertengger di atas daun. Padahal seharusnya dia menyatu dengan rakyatnya menjadi arus sungai yang besar.

Para raja dulu sadar bahwa lingkaran istana akan dihuni oleh social climber. (Jaman dulu istilahnya tentu bukan social climber. Kira-kira istilahnya para begundal). Menggunakan kedekatannya dengan istana untuk meningkatkan status sosialnya. Lama-lama akan berperan sebagai orang yang paling dekat dengan raja. Paling dipercaya raja. Merepresentasi kemauan dan kebijakan raja. Bahkan menjadi bayang-bayang raja itu sendiri. Pada tingkat terakhir mengkudeta raja secara formal maupun substansial.

Maka biasanya lingkaran raja itu banyak orang yang ditandai lima kem (5-Kem). Yaitu, keminter, kemeruh, kemlinti, kemuasa, kemajon. Artinya, sok pintar, sok tahu, sombong, sok kuasa, kebablasan. Boleh juga ditambah dua kem lagi yaitu kemaruk dan kemresek. Artinya maunya macam-macam, dan gaduh terus. Jika mau menambah lagi satu kem juga boleh yaitu kemproh.

Kondisi lingkar istana yang dijubei social climber itu terjadi di jaman kerajaan Jawa dulu. Bukan pada jaman now. Kalau jaman now insya Allah tidak ada. Kalau toh ada paling cuma satu, dua, tiga, empat dan seterusnya. Ah, yakin tidak ada. Sekarang ini para punggawa panakare becik-becik ( pola pikir dan tindaknya baik-baik semua).