“Dari Maghrib hingga Maghrib” (bag 7 habis)

“Dari Maghrib hingga Maghrib” (bag 7 habis)
Djoko Tetuko Abdul Latief

Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi WartaTransparansi)

(Sehimpun Puisi “Bicaralah yang Baik-Baik” Dirut RRI)

Menutup rentak hentak kumpulan puisi dan sajak tanpa retak apalagi gejolak, “Bicaralah yang Baik-baik”, sengaja meminjam judul salah satu puisi maghrib. Penyair penyiar penyinar pengibar pengobar api abadi berapi-api dalam karya suci, mengingatkan bahwa hati-hati masa maghrib sudah menyapa bermakna…

MAGRIB
ketika senja mulai membungkuk di tubuh bumi Kau lebih dari yang kuduga
kami bersujud di atas AlifMu

Syair pendek ini kisaran 17 kata bercampur awalan dan akhiran, juga huruf hidup meliuk-liuk indah menghiasi sinar merah maghrib.

Maghrib begitu akrab dan populer karena batas-batas keras pergulatan, sebut saja batas penantian berbuka puasa, sebut batas penantian sore dan malam, sebut saja batas penantian matahari dan rembulan. Bahkan mau batas apa saja …sah-sah saja … “Bicaralah yang Baik-baik”.

Allahu Akbar …

ALLAHU AKBAR
kulihat kau lewat teropong sedotan limun “kau cantik”
kulihat kau lewat teropong jarum suntik “kau lebih cantik”
itulah maha Allah Akbar

Syair Asma Alllah, Syair Ajaib, syair pendek ini lebih banyak sedikit kira-kira 21 kata, meneropong dari sedotan dan jarum suntik. Antara dahaga menyebut asma Allah atau di antara jarum suntik menuju neraka ketika lupa menyebut kebesaran Allah. …Allahu Akbar … dan jarum suntik menuju surga karena kekuatanNya, ridloNya semata … Allahu Akbar…

Subhanallah
Alhamdulillah
Allahu Akbar

BERTASBIH
bila waktunya sampai,
begitu dalam
bukan hanya sekedar milikku
melainkan kesempurnaan yang diciptakan hinggap begitu lekat ketulusan putih,
putih cemerlang
itulah derajat paling tinggi
dan bertahta di atas keningku

Tasbih dan bertasbihlah …, syair pendek ini meminjam 33 kata dalam bertasbih, putih cemerlang dan derajat tinggi, hanya komunikasi sejati mampu bersama hati bertabur silaturrahmi, tinggi semakin tinggi semakin memutih …

M. Rohanudin sang penyair penyiar, tanpa sadar bersembunyi di balik “Bicaralah yang Baik-baik”, setara dengan semboyan RRI, “sekali di udara tetap di udara”.

Sekali bicara baik tetap bicara baik …
Sekali di udara terbang melayang-layang
Berkali-kali kembali ke pangkuan ibu pertiwi, ke rumah dunia sejati …

ISTRIKU SUNARTI
istriku
dimanakah kau dinda?
mungkin kita bukan orang tua yang baik
bagi anak-anak jaman sekarang,
dulu ketika kita masih kecil berkejar-kejaran dengan monyet, separuh pisang yang kulalap tiba-tiba disergap,
cerdik sekali, dasar monyet, mulutnya pura-pura monyong
lari-lari kecil sambil mengejek, kakinya dibuat terpincang-pincang, naik ranting-ranting pohon, begitu habis ……
lalu sisa sepah-sepah dilempar mengenai kepala kita, berserakan
sekarang,
cerita itu sudah tidak ada lagi,
anggap saja moment romantis yang lewat,
anak-anak berangkat sekolah tiba-tiba menclok ke bromphit, sambil melambaikan tangan kanan,
sementara tangan kirinya nenteng gadget bersuara K-Pop, lagu Korea yang didengar persis seperti
yang sering ibunya putar setiap hari didapur,
budaya macam apa ini?
hidup di jaman now benar-benar now,
di jaman “tanpa belajar” maka hasilnya jadi “kurang ajar” hu hah Narti … Narti …
hidup di jaman sedang jumpalitan,
….
Parni Hadi,
Dirut RRI 2005-2010, dalam testimoni memberikan fatwa,
Sekali bersuara, tetap berbicara.
Kata-kata menyampaikan makna lewat udara.
Penyiar dan penyair menyatu seperti tanah (dan) air.

Bagi Parni, Bung Rohan, Dirut RRI, menulis puisi, bukti bakti kepada negeri. Wajib dibaca dan didengar semua pecinta Ibu Pertiwi.
Sekali di udara, tetap di udara. Mengudara memberi makna, di darat bermanfaat.

Tentu saja di depan radio, selalu menerima informasi terkini hingga sejarah jaman dulu hingga era reformasi, saling memberi Indoensia menjadi sebuah semangat berapi-api

Meutya Hafid, melihat lebih fokus bahwa karya beliau ini akan menjadi percikan api yang tidak hanya akan dapat membakar semangat nasionalisme dan kecintaan akan negeri tercinta namun juga membangkitkan gairah untuk kembali menghidupkan dan memajukan karya seni puisi Indonesia.

Dr. Shafwan Hadi Umry, M.Hum, Dosen Pascasarjana UMN Al Washliyah dan Unimed, dalam coretan testimoni “Bicaralah yang Baik-baik”, ada sebuah pernyataan bahwa mitos
mengubah manusia maupun kosmos, karena kita bercita- cita untuk menghubungkan kembali yang beraroma sakral dengan yang aktual.

Dilihat dengan cara ini, masa lalu, masa kini, dan masa depan diartikulasikan dengan cara yang transparan dan lugas.

Mengingat peningkatan produksi teknologi digital maupun tertutupnya ruang gerak kemanusiaan, makin besarlah dampak yang hasilnya menyisihkan sifat alami manusia yang selalu membutuhkan ruang-ruang dialog dan kesepakatan.

Bila ini tidak dilakukan keseimbangan, maka makin besarlah kesukaan sekelompok manusia otoriter untuk merestorasi tatanan masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman. Hal ini harus kita tangkal dengan suara puisi sebagai suara kemanusiaan. Begitulah yang terbaca dan terpahami dalam puisi “Kemerdekaan, Corona dan Korupsi” karya M. Rohanudin.

Sorotan Acep Zamzam Noor, penyiar penyair
M. Rohanudin, seorang yang sudah makan asam garam dalam dunia broadcasting di tanah air. Dimulai dengan menjadi penyiar dan reporter di beberapa radio swasta di daerahnya sejak masih duduk di bangku SMA hingga kini menjabat sebagai Direktur Utama RRI. Yang menarik dari sosok lelaki kelahiran Madura ini selain menikmati pekerjaannya sebagai penyiar, ia pun mempunyai ketertarikan terhadap karya sastra, khususnya puisi. Maka sejak awal aktif di dunia broadcasting, ia berupaya membangun harmonisasi antara puisi dan radio, antara syair dan penyiaran.

Apa yang dilakukan bukan hanya menyediakan rubrik-rubrik yang berkaitan dengan sastra seperti “puisi dan lagu” di radio, lebih dari itu ia pun menulis sendiri puisi-puisi yang menurutnya harus sesuai dengan karakter dan medium audio, yakni yang enak didengar dan mudah ditangkap. Di sini kata-kata bukan lagi berbicara pada mata namun lebih pada telinga, kemudian meresap ke dalam hati. Dengan memahami karakter ini akan terbangun theatre of mind bagi orang-orang yang mendengarnya. Atau dengan lain