Oleh : Djoko Tetuko (Pemimpin Redaksi WartaTransparansi)
(Sehimpun Puisi “Bicaralah yang Baik-Baik” Dirut RRI)
Menutup rentak hentak kumpulan puisi dan sajak tanpa retak apalagi gejolak, “Bicaralah yang Baik-baik”, sengaja meminjam judul salah satu puisi maghrib. Penyair penyiar penyinar pengibar pengobar api abadi berapi-api dalam karya suci, mengingatkan bahwa hati-hati masa maghrib sudah menyapa bermakna…
MAGRIB
ketika senja mulai membungkuk di tubuh bumi Kau lebih dari yang kuduga
kami bersujud di atas AlifMu
Syair pendek ini kisaran 17 kata bercampur awalan dan akhiran, juga huruf hidup meliuk-liuk indah menghiasi sinar merah maghrib.
Maghrib begitu akrab dan populer karena batas-batas keras pergulatan, sebut saja batas penantian berbuka puasa, sebut batas penantian sore dan malam, sebut saja batas penantian matahari dan rembulan. Bahkan mau batas apa saja …sah-sah saja … “Bicaralah yang Baik-baik”.
Allahu Akbar …
ALLAHU AKBAR
kulihat kau lewat teropong sedotan limun “kau cantik”
kulihat kau lewat teropong jarum suntik “kau lebih cantik”
itulah maha Allah Akbar
Syair Asma Alllah, Syair Ajaib, syair pendek ini lebih banyak sedikit kira-kira 21 kata, meneropong dari sedotan dan jarum suntik. Antara dahaga menyebut asma Allah atau di antara jarum suntik menuju neraka ketika lupa menyebut kebesaran Allah. …Allahu Akbar … dan jarum suntik menuju surga karena kekuatanNya, ridloNya semata … Allahu Akbar…
Subhanallah
Alhamdulillah
Allahu Akbar
BERTASBIH
bila waktunya sampai,
begitu dalam
bukan hanya sekedar milikku
melainkan kesempurnaan yang diciptakan hinggap begitu lekat ketulusan putih,
putih cemerlang
itulah derajat paling tinggi
dan bertahta di atas keningku
Tasbih dan bertasbihlah …, syair pendek ini meminjam 33 kata dalam bertasbih, putih cemerlang dan derajat tinggi, hanya komunikasi sejati mampu bersama hati bertabur silaturrahmi, tinggi semakin tinggi semakin memutih …
M. Rohanudin sang penyair penyiar, tanpa sadar bersembunyi di balik “Bicaralah yang Baik-baik”, setara dengan semboyan RRI, “sekali di udara tetap di udara”.
Sekali bicara baik tetap bicara baik …
Sekali di udara terbang melayang-layang
Berkali-kali kembali ke pangkuan ibu pertiwi, ke rumah dunia sejati …
ISTRIKU SUNARTI
istriku
dimanakah kau dinda?
mungkin kita bukan orang tua yang baik
bagi anak-anak jaman sekarang,
dulu ketika kita masih kecil berkejar-kejaran dengan monyet, separuh pisang yang kulalap tiba-tiba disergap,
cerdik sekali, dasar monyet, mulutnya pura-pura monyong
lari-lari kecil sambil mengejek, kakinya dibuat terpincang-pincang, naik ranting-ranting pohon, begitu habis ……
lalu sisa sepah-sepah dilempar mengenai kepala kita, berserakan
sekarang,
cerita itu sudah tidak ada lagi,
anggap saja moment romantis yang lewat,
anak-anak berangkat sekolah tiba-tiba menclok ke bromphit, sambil melambaikan tangan kanan,
sementara tangan kirinya nenteng gadget bersuara K-Pop, lagu Korea yang didengar persis seperti
yang sering ibunya putar setiap hari didapur,
budaya macam apa ini?
hidup di jaman now benar-benar now,
di jaman “tanpa belajar” maka hasilnya jadi “kurang ajar” hu hah Narti … Narti …
hidup di jaman sedang jumpalitan,
….
Parni Hadi,
Dirut RRI 2005-2010, dalam testimoni memberikan fatwa,
Sekali bersuara, tetap berbicara.
Kata-kata menyampaikan makna lewat udara.
Penyiar dan penyair menyatu seperti tanah (dan) air.
Bagi Parni, Bung Rohan, Dirut RRI, menulis puisi, bukti bakti kepada negeri. Wajib dibaca dan didengar semua pecinta Ibu Pertiwi.
Sekali di udara, tetap di udara. Mengudara memberi makna, di darat bermanfaat.
Tentu saja di depan radio, selalu menerima informasi terkini hingga sejarah jaman dulu hingga era reformasi, saling memberi Indoensia menjadi sebuah semangat berapi-api
Meutya Hafid, melihat lebih fokus bahwa karya beliau ini akan menjadi percikan api yang tidak hanya akan dapat membakar semangat nasionalisme dan kecintaan akan negeri tercinta namun juga membangkitkan gairah untuk kembali menghidupkan dan memajukan karya seni puisi Indonesia.
Dr. Shafwan Hadi Umry, M.Hum, Dosen Pascasarjana UMN Al Washliyah dan Unimed, dalam coretan testimoni “Bicaralah yang Baik-baik”, ada sebuah pernyataan bahwa mitos
mengubah manusia maupun kosmos, karena kita bercita- cita untuk menghubungkan kembali yang beraroma sakral dengan yang aktual.
Dilihat dengan cara ini, masa lalu, masa kini, dan masa depan diartikulasikan dengan cara yang transparan dan lugas.
Mengingat peningkatan produksi teknologi digital maupun tertutupnya ruang gerak kemanusiaan, makin besarlah dampak yang hasilnya menyisihkan sifat alami manusia yang selalu membutuhkan ruang-ruang dialog dan kesepakatan.
Bila ini tidak dilakukan keseimbangan, maka makin besarlah kesukaan sekelompok manusia otoriter untuk merestorasi tatanan masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman. Hal ini harus kita tangkal dengan suara puisi sebagai suara kemanusiaan. Begitulah yang terbaca dan terpahami dalam puisi “Kemerdekaan, Corona dan Korupsi” karya M. Rohanudin.
Sorotan Acep Zamzam Noor, penyiar penyair
M. Rohanudin, seorang yang sudah makan asam garam dalam dunia broadcasting di tanah air. Dimulai dengan menjadi penyiar dan reporter di beberapa radio swasta di daerahnya sejak masih duduk di bangku SMA hingga kini menjabat sebagai Direktur Utama RRI. Yang menarik dari sosok lelaki kelahiran Madura ini selain menikmati pekerjaannya sebagai penyiar, ia pun mempunyai ketertarikan terhadap karya sastra, khususnya puisi. Maka sejak awal aktif di dunia broadcasting, ia berupaya membangun harmonisasi antara puisi dan radio, antara syair dan penyiaran.
Apa yang dilakukan bukan hanya menyediakan rubrik-rubrik yang berkaitan dengan sastra seperti “puisi dan lagu” di radio, lebih dari itu ia pun menulis sendiri puisi-puisi yang menurutnya harus sesuai dengan karakter dan medium audio, yakni yang enak didengar dan mudah ditangkap. Di sini kata-kata bukan lagi berbicara pada mata namun lebih pada telinga, kemudian meresap ke dalam hati. Dengan memahami karakter ini akan terbangun theatre of mind bagi orang-orang yang mendengarnya. Atau dengan lain
perkataan puisi yang cocok ditampilkan untuk radio adalah puisi yang berkarakter lisan atau yang bahasanya mempunyai kekuatan lisan.
Ketika M. Rohanudin meneruskan karirnya di RRI banyak sekali acara sastra yang diselenggarakan di lingkungan RRI, begitu juga setelah memegang jabatan penting sejumlah event yang bertarap nasional diselenggarakannya di berbagai wilayah di Indonesia, dan dia tidak pernah melupakan sastra di dalamnya. Menurut pengakuannya sejak masih mahasiswa ia banyak juga menulis puisi di koran-koran namun kemudian ia lebih memilih media audio (juga video) untuk mempublikasikan puisi-puisinya. Ia juga kerap tampil membaca puisi di panggung dan televisi. Dalam rangka merayakan kemerdekan RI tahun ini menggelar, panggung kemerdekaan “Bicaralah yang Baik-baik”.
M. Rohanudin memberi daya tawar berbangsa dan bernegara dengan bahasa syair bernada, sajak menapak jejak, dan pantun menuntun santun
…
kita semakin membutuhkan kita
kita semakin membutuhkan kita tidak hanya dengan kata-kata melainkan dengan toleransi
kita yang Dayak
kita yang Melayu
kita yang Jawa
kita yang Tionghoa
kita yang Madura
kita yang Bugis
kita yang Sunda
kita yang Batak
dan kita yang Banjar
adalah Indonesia
karena kita lahir diatas rahim Indonesia
tumbuh besar dan tegak di atas langit Indonesia mengait bintang gemintang dibalik awan Indonesia berlayar dengan hembusan angin sepoi-sepoi Indonesia ombaknya pun seperti nyanyian Indonesia
maka, robek-robeklah dadaku robek-robeklah jiwaku
asal jangan robek merah putihku negeriku,
bangsaku
dibola matamu ku titip Indonesia lebih berdamai ….
toleransi di Indonesia,
harus mendapat tempat yang terhormat disuburkan dari akar yang kuat,
sampai menembus ranting-ranting maka tidak ada pilihan
kecuali kita meletakkan toleransi
sebagai syarat wajib kehormatan bangsa adalah kunci surga kebhinekaan
Puisi di atas dengan jelas, lugas dan tegas menyuarakan hati penyairnya yang tengah bersyukur karena ditakdirkan Tuhan hidup di tengah-tengah keragaman suku, agama, ras dan antargolongan dalam sebuah negara yang terdiri dari puluhan ribu pulau dan bahasa, yang sulit ditemui persamaannya di belahan dunia mana pun. Penyair bersyukur karena nilai-nilai tolereransi, nilai-nilai saling memahami dan menghargai, nilai-nilai gotong royong antar sesama masih berlangsung meskipun banyak sekali cobaan dan ujian di tengah perjalanan berbangsa dan bernegara.
Penyair Penyiar M. Rohanudin “mengingatkan tentang waktu maghrib …”, kenapa bukan waktu ashar (wal Ashry = demi masa). Tentu kumpulan karya bernafas religius, kebangsaan, kerakyatan, kebhinekaan, ke-Nusantara-an, keagungan Yang Maha Agung, Presiden, peristiwa, keganjilan dan kegenapan adalah jawaban dari rahasia waktu maghrib. Apalagi memberikan warna maghrib dengan coretan tentang jaman
FIRAUN, IBLIS DAN KEN AROK
Firaun tenggelam di laut merah
ketika sedang di puncak kekuasaan kekuasaan sama dengan bencana
jika kekuasaan itu, Firaun
jika kekuasaan itu, syahwat
jika kekuasaan itu, diusung dengan keranda jika kekuasaan itu, bermuka belang
jika kekuasaan itu, minum arak
kata bijak mengatakan:
menjadi abdi raja seperti berjalan dengan harimau kapan saja ia siap diterkam
harimau seram dan bengis
ia buas untuk siapapun mereka
lebih ganas dari Ken Arok
jika moralitas tumbuh dari syahwat yang busuk jika moralitas berjiwa kapitalis
jika moralitas lebih membusungkan perut maka moralitas sama saja dengan iblis
iblis makhluk paling lama sujud kepada Allah
lebih patuh dari malaikat
tapi mengapa Allah murka
memasukkan iblis kepada muntahan api neraka yang menjilat-jilat menjilat-jilat
menjilat-jilat
karena iblis merasa lebih mulia dari makhluk Allah
pilihlah pemimpin, adalah raja berhati nurani karena nurani suatu titik yang
menjadi mata air moralitas manusia
apakah kita merasa menjadi pemimpin
lalu moralitas mana yang menjadi baju dan selendang kita bagaimana pula jika terjadi pertempuran antara Firaun dan Ken Arok
mungkin iblis tidak berani datang ikut bertarung
atau dia sembunyi di punggung Firaun
sambil tertawa terkekeh-kekeh
menyemburkan bau busuk dari celana dalam yang kusam
sampai di sini
begitulah seterusnya
rumput ditanam tidak akan jadi padi
dia berakar menyebar dan bersemi di tempat lain namanya tetap rumput
D. Zawawi Imron memberi garis tebal seperti tebal bulu mata menghiasi warna warni wajah puisi, bahwa kalimat-kalimat syair M. Rohanudin, terasa bukan sekedar pamflet, tapi lukisan
hati penyair itu sendiri yang pernah terpesona oleh keindahan dan peristiwa yang disaksikannya di tanah air Indonesia.
Berthhold Damshauser, memberi setitik peraduan bahwa rumah bersama bernama Indonesia sedang menghadapi tantangan, bahkan ancaman yang tidak boleh disepelekan.
Bahwa kebersamaan adalah syarat untuk memecahkan segala masalah Ia pun menghimbau:”Jangan ada rasa selain aroma Indonesia! ” –
Firli Bahuri mengapresiasi kumpulan sajak dan puisi saudara M. Rohanudin sarat dengan ungkapan kecintaan kepada keIndonesiaan dan keBhinekaan. Kebersamaan mendendangkan lagu rakyat giat menggugat para pejabat tidak menebar dan menyebar korupsi.
“Maghrib” magnet begitu kuat bahkan sungguh mengikat;
Soekarno Bapakku ; Indonesia Adalah Saraswati ; Dari Sini Indonesia Masih Ada ; Bicaralah Yang Baik-Baik ; Sajak Pagi Hari ; Aku Mengaji (1) ; Puisi-Puisiku ; Oase Zam-Zam ; Robek-Robeklah Dadaku 40 Disini Aku Mengaji (2) Mengenang Sigi, Donggala, Palu, Menganga ; Mari Berpantun ; Puisi Untuk Presiden Jokowi ; Kemerdekaan, Corona, dan Korupsi ; Jangan Ada Rasa Lain Selain Aroma Indonesia ; Firaun, Iblis dan Ken Arok ; Istriku Sunarti ; Sungai Ciliwung ; Kau Yang Teduh ; Kau Yang Terbaik ; Selamat Pagi Dinda.
Panggung pergelaran malam ini, bukan sebuah kebetulan tetapi pesan-pesan untuk kebangkitan seluruh negeri setelah terpapar dan terpuruk … alhamdulillah dalam waktu bersamaan menjelang HUT kemerdekaan obat penyembuh Covid-19 sudah berhasil ditemukan, dan vaksin Covid-19 juga proses menuju penyelesaian.
Tentu setelah kumandang suara adzan maghrib, corong menyampaikan kebenaran, kesabaran, merestorasi amal kebaikan karena keimanan bermuara keikhlasan. Menggoyang panggung pergelaran dengan sentuhan juga senggolan syair, puisi, sajak dan lagu…
Suasana mengubah jagad menjadi panggung Agung, sebentar malam saja…
Baru saja memang seperti mendengarkan adzan maghrib di tanah suci, ….
Mendengar lantunan puji-pujian,
juga dari kejauhan nampak bersujud di atas alifMu,
berdzikir bersila di atas lamMu,
berserah diri pasrah di sandaran haMu ….Hu Allah …
Tanpa mampu mengungkap tabir dari bibir bertasbih, “dari maghrib hingga maghrib”, dan ketika Padang bulan … seperti menyapa lupa terbitlah “Bicaralah yang Baik-baik”. (Djoko Tetuko/habis)