Timbul pertanyaan apa urgensinya membuat sekitar 40 kapal niaga baru, 166 kapal perintis tanpa menghitung cermat supply dan demand. Padahal armada pelayaran over stock jumlahnya ribuan kapal berbagai jenis dan ukuran yang seharusnya diberdayakan. Dampaknya usaha pelayaran terpuruk karena harus bersaing atau head to head dengan kapal tol laut yang tarifnya disubsidi.
Biaya angkut kontainer Surabaya-Samarinda misalnya, banting harga hanya 500 ribu per kontainer separuh tarif biasanya. Kondisinya semakin runyam ketika kapal tol laut juga masuk ke ranah trayek dan pelabuhan yang selama ini menjadi porsi kapal non Tol Laut antara lain Pelabuhan Makassar, Bitung, Palu, Biak.
Tinggal menunggu waktu, jika tidak segera dibenahi ribuan ABK kapal niaga dan Pelra diujung PHK masal. Di dermaga Kalimas, Tanjung Perak Surabaya misalnya, 100 kapal akan menjadi bangkai pelabuhan dengan 7000 ABK menjadi tumbal proyek Tol Laut.
Di pelabuhan Gresik kapal armada Pelra menumpuk menunggu muatan berbulan bulan, bahkan ada kapal hanya membawa barang klontong terpaksa keluar dari pelabuhan Gresik karena tidak ingin terjebak mahalnya tarip sandar kapal.
Selain membagun ratusan kapal baru Kemenhub menambah jumlah pelabuhan untuk melengkapi 76 pelabuhan yang disandari kapal Tol Laut walaupun tanpa jadwal pasti. Akan tetapi jumlah pelabuhan yang full capacity bisa dihitung jari. Sebagai referensi, pelabuhan baru umumnya tidak memiliki akses jalan menuju pelabuhan yang memadai cenderung sangat sempit. Demikian pula dermaganya hampir semua kosongan, artinya tidak mempunyai peralatan bongkar muat.
Hambatan muatan balik menjadi momok karena tidak adanya industri potensial di daerah akibat kurangnya penguatan dari pemerintah daerah pada industri skala kecil. Sumber Daya Alam (SDA) tidak dikembangkan secara maksimal khususnya SDA yang bisa dikapalkan melalui peti kemas.
Selain itu juga belum tersedia tempat pengumpul hasil produksi unggulan di beberapa daerah sehingga menyebabkan sebagian besar armada Tol Laut bermuatan kosong ketika kembali ke Pelabuhan Pangkal.
Tol Laut umumnya belum efektif menjangkau hinterland. Pelayanannya belum sepenuhnya memasuki pulau kecil, terdepan, tertinggal serta wilayah yang daya belinya rendah. Demikian pula pembangunan pelabuhan singgah, belum dilengkapi fasilitas bongkar muat seperti di Tarempa, Enggano, Dobo, Rote, Mentawai. Kerap terjadi barang muatan datang terlambat atau tidak sesuai jadwal keberangkatan.
Sementara panjang dermaga di beberapa pelabuhan singgah lebih pendek dari panjang kapal sehingga mengganggu bongkar muat. Di pelabuhan singgah waktu tunggu kapal lebih lama karena tingkat pasang surut tinggi.
Demikian halnya load factor kapal di beberapa ruas hanya 10% seperti di ruas Enggano dan ruas Sebatik. Melihat implementasi Tol laut setelah lima tahun berjalan, sewajarnya pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya menagih janji apa manfaat Tol Laut?..(Oki Lukito – Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan/Pengurus KADIN Jatim Bidang Kemaritiman)