“Bicara hasil pemilu ada dua bahasan pada sisi yang berbeda. Pertama, mereka yang merasa dirugikan akan mengatakan KPU,Bawaslu tidak berlaku adil, tidak menjalankan tugas sesuai azaz penyelenggara pemilu. Namun sebaliknya dari sisi KPU dan Bawaslu akan mengatakan telah menjalankan fungsinya sesuai aturan.
Tapi sejauh yang saya tau, Pileg 2019 dari sekian caleg yang tidak melakukan politik uang, itu hanya ada 6 orang. Selebihnya mengaku melakukan politik uang. Tapi mereka tetap di lantik sebagai anggota dewan dan mengatakan saya dilantik atas jerih payah saya sendiri. Caleg yang tidak money politics harus di contoh. tandasnya.
Dalam banyak kasus, meski polisi dan pengawas pemilu sudah mengamankan barang bukti, namun dalam per sidangan tidak ada yang berani dan mau menjadi saksi. Ini yang menyulitkan dalam persidangan. Bahkan kasusnya itu,kemudian, dianggap tidak layak disidangkan.
Atas kasus seperti itu, lalu siapa yang salah, aturannya yang lemah atau orangnya. “Saya lebih pada penyelenggaranya yang patut dipersalahkan,” kata Agus Mahfud Fauzi.
Menurut Agus, FGD ini patut di apresiasi dan harus di dukung agar kecurangan di Pemilu bisa di eliminir. Semua elemen masyaraat harus ikut mengawasi. Jangan hanya KPU dan Bawaslu saja yang diawasi, tapi Partai Politik juga haus diawasi.
Kasus Ketua KPU Wahyu Setiawan adalah pelajaran berharga. Khusus untuk Wahyu, ya kita tuggu saja hasil sidangnya nanti seperti apa.
Kasus Wahyu Setiawan, dinilai sangat komplek. Bisa jadi setiap penyelenggara Pemilu berpotensi membawa dua hal yakni fungsi manives (nyata) dan laten (terasembunyi).
Pihaknya sangat setuju, Pilkada 2020 harus diawasi ketat. Tapi tidak boleh punya pemikiran negatif dulu terhadap KPU dan Bawaslu. Karena keberadaan Parpol juga bisa mempengarui pikiran penyelenggara Pemilu.
Sementara itu Sri Sugeng Sujiatmiko mengatakan, setidaknya ada tiga jenis pelanggaran mulai pelanggaran administrasi (bakal calon kepala daerah), Penyelenggaraan kode etik.
Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dan pelanggaran kode etik angkanya masih cukup tinggi.
Sri Sugeng mengatakan kasus Madura terjadi dari pemilu ke pemilu. Tapi ini memang dahsyat. Berbeda lagi dengan kasus di Papua. Disana 500 suara bisa menjadi 1000 suara dengan alasan tengah dilakkan pemekaran dan jumlahnya harus sesuai. (jon)