Wiranto mengakui pihaknya tergerak membebaskan aksi unjuk rasa di Tanah Air diilhami oleh pengalaman di London. Saat itu ia masih ajudan Presiden RI sewaktu mengikuti perjalanan Pak Harto ke sana.
Terinspirasi Demo di London
Sebelum Pak Harto tiba di London ia berkoordinasi dengan pihak KBRI di sana. Pihak KBRI menjelaskan mengenai rute perjalanan kunjungan Pak Harto di Inggris. Ada beberapa rute diubah mendadak karena bersamaan di kota London ada unjuk rasa berkekuatan 5000 massa. Diam-diam dia kagum pada penguasaan medan staf KBRI itu. Dia pun bertanya. Jawaban staf datanya diperoleh dari kantor pilisi. Itulah yang mengilhami Wiranto. Di London memang aksi unjuk rasa adalah hak warga. Tinggal lapor polisi rencana unjuk rasa, dan demonstran pun mendapatkan pengawalan. Beres.
Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya, namun setelah itu, khususnya di tahun 1997, aksi demo memang akhirnya marak. Aksi demo mula-mula hanya di halaman kampus. Namun, lama-lama keluar kampus. Dan, mencapai puncaknya pada unjuk rasa Mei 1998 yang melengserkan kekuasaan Pak Harto. Posisi Wiranto adalah Panglima ABRI ketika demo besar-besaran terjadi yang memicu aksi penjarahan massal.
Demonstrasi tak boleh dihalangi. Tidak boleh ditangkap. Tidak boleh dikriminalisasi, tulis Wina Armada anggota Dewan Pers dalam FBnya. Isi demonstrasi menurut konstitusi kita juga bebas mengecam eksekutif: dari presiden, menteri, dirjen sampai aparat sipil negeri manapun, boleh. Mengecam legislatif atawa parlemen, dari DPR Pusat sampai DPRD tingkat provinsi, kota-kabupaten boleh. Mengecam yudikatif dari pengadilan tingkat paling rendah sampai Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi, juga boleh.
Sebagai demonstran, mereka boleh bilang kepada pihak manapun: tidak berpihak kepada rakyat, lupa diri, tidak adil, tidak sensitif dan sebagainya, masih tetap boleh. Menuntut pihak manapun untuk sesuatu dari yang ringan-ringan saja sampai minta mundur, boleh. Boleh.
Yang tidak boleh kata Wina, ialah merusak. Apalagi menghancurkan dan menghilangkan barang-barang milik publik. Milik negara. Merusak fungsi-fungsi dan atawa fasilitas untuk publik. Milik negara. Milik rakyat. Untuk rakyat. Perbuatan tersebut bukan saja merupakan perbuatan kriminal, perbuatan pidana, tetapi juga sekaligus merugikan negara. Merugikan rakyat. Mensengsarakan Bagus.
Sayang Bung Wina tidak menyebut secara eksplisit bahwa sesuai konstitusi kita polisi sebenarnya wajib mengawal pengunjuk rasa ke tempat yang dituju dan melindungi sampai selesai pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya.
Menutup Seluruh Akses
Bersandar pada ketentuan itu maka kita bisa uji pada “pelayanan” polisi terhadap aksi unjuk rasa beberapa hari ini, terutama hari Senin (30/9) sore kemarin.
Polisi ternyata bertindak sebaliknya. Bukannya mengawal dan melindungi, justru menutup seluruh akses jalan ke gedung DPR-RI tempat yang dituju oleh demonstran. Massa massa mahasiswa dan pelajar dihempang sejauh 3 km dari TKP dari kiri kanan dan depan belakang.
Tentu mudah dibayangkan apa yang terjadi dengan penanganan seperti itu? Demonstran yang merasa haknya dirampas, melampiaskan kekesalannya dengan merusak fasilitas publik. Sampai tengah malam. Seketika lenyap permainan cantik bintang-bintang lapangan, anak-anak STM itu. Yang muncul permainan kasar dan anarkis. Merusak fasilitas publik.Tindakan itu jelas salah. Tapi siapa yang memberi peluang terbukanya aksi anarkis itu?
Polisi tidak salah jika bertindak refresif menghadapi suasana chaos yang merusak fasilitas publik. Jelas tindakan itu menjadi alasan pembenar bagi polisi bertindak refresif.
Akhirnya unjuk rasa menjadi chaos. Rugi semua pihak. Aspirasi tidak sampai. Polisi gagal menjalankan fungsi pengawalan dan edukasinya kepada masyarakat. Negara pun rugi karena tindakan refresif identik dengan bakar-bakar uang rakyat. Berapa uang terbakar dari aksi melepas tembakan gas airmata.
Padahal, sebenarnya, kalau saja polisi menyadari kewajiban mengawal demonstran ke TKP banyak risiko kerugian yang bisa dihindari. Massa pendemo pun bisa terkonsentrasi. Polisi konsentrasi juga menjaga mereka dengan hanya tinggal mengelilingi demonstran. Namun sayang polisi kemarin menghadapi demonstran laiknya perusuh.
Yang paling mengheranksn sikap Pak Wiranto berubah. Mengapa Menkopulhukan begitu membenci aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar hari-hari ini. Dengar saja narasi-narasi yang lebih mengesankan gugup merespons aksi unjuk rasa. Seperti lupa dulu di masa kekuasaan Orde Baru yang demikian otoriter dia bisa melahirkan gagasan perlindungan terhadap aksi unjuk rasa. Apa yang terjadi pada Pak Wiranto, yang justru di era eformasi ini melihat demonstrasi seperti aksi perusuh. Padahal, demonstran dan perusuh, berbeda, Jenderal.