Lapsus  

Jenderal, Ini Demonstran, Bukan Perusuh

Jenderal, Ini Demonstran, Bukan Perusuh
ILUSTRASI :Aksi demo mahasiswa Surabaya di depan gedung negara Grahadi Surabya, Selasa (24/9/2019)

Saya intens mengukuti berita aksi unjuk rasa mahasiswa setelah pelajar STM ikut ambil bagian hari-hari ini. Ada warna baru. Beberapa poster mereka menggelitik. Mengundang senyum. Misalnya, “Mahasiswa Berorasi, Pelajar Yang Eksekusi.”

Saya mengikuti aksi unjuk rasa itu memang lebih banyak melalui siaran langsung televisi dari lokasi unjuk rasa di berbagai daerah di Tanah Air. Maklum sudah tua.

Satu-satunya aksi unjuk rasa yang saya ikuti langsung waktu di Banjarmasin, Kalimantan Selaran, Senin (24/9). Pas saya lagi di sana. Hari itu diantar Ketua PWI Kalsel, Zainal Hilmie, saya dan Ketua Umum Atal Depari melihat dari dekat aksi damai di kantor Gubernur Kalsel yang luas di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalsel. Demo diikuti sekitar 1000 pelajar. Tertib. Dihadapi langsung oleh Gubernur Kalsel Sahbirin Noor. Mahasiswa menyampaikan aspirasinya, Paman Birin merespon. Dialog berlangsung hangat. Saya tidak melihat tidak terlalu banyak polisi dikerahkan menjaga aksi unjuk rasa siang itu.

Saya juga mengikuti laporan media-media online yang melaporkan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar memprotes sejumlah RUU. Termasuk Revisi UU KPK. Diselang-seling mengintip cuitan di media sosial  twitter, komentar di Facebook, dan group-group whatsapp. Tampaknya kiprah pelajar STM itu memang mendapat apresiasi. Menyegarkan. Laiknya nonton bintang sepakbola sedang bertanding.

Ada malah yang merespons penuh rasa takjub. Takjub melihat bocah yang terpanggil  untuk mengekpresikan kegelisahannya pada urusan penyelenggaraan negara. Keterlibatan pelajar STM secara mencolok tampaknya memang baru pada aksi unjuk rasa di Jakarta.

Demo Legal

Sahabat saya Wina Armada, wartawan senior, Selasa (1/10) pagi menurunkan tulisan di akun FBnya. Judulnya “Tentang Demonstrasi dan Lain-Lain”

Begini dia membuka tulisannya.

“Demonstrasi atau unjuk rasa? Boleh! Bahkan dalam banyak kasus, harus!! Demonstrasi untuk menunjukan sikap kita. Demonstrasi untuk menuntut sesuatu.”

“Demonstrasi,” lanjut master hukum dari UI dan penulis buku hukum pers ini, “boleh untuk mengekspresikan kekecewaan kita. Demonstrasi untuk mendukung sesuatu. Semuanya boleh. Ini negera merdeka. Ini negara demokrasi. Seluruh rakyat bebas berdemonstrasi, asal sehari sebelumnya memberitahu”

Ingatan saya melayang pada tahun 1996. Pada ihwal pembahasan halalnya aksi unjuk rasa menurut konstitusi.

Waktu itu salah satu tokoh yang menyuarakan halalnya unjuk rasa itu adalah Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya. Saya masih bekerja sebagai redaktur di Harian Angkatan Bersenjata di masa itu. Pangdam bikin acara coffee morning. Kami sering diundang hadir dalam acara itu. Salah satu topik perbincangan yang menarik perhatian saya soal hak hukum berunjuk rasa.

Wiranto menerangkan menyuarakan pendapat umum di depan publik itu adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Larangan demonstrasi selama ini, katanya, hanya bersandar pada aturan mengenai ketertiban umum. Dasar hukumnya lebih rendah dari konstitusi yang mengatur hak berunjuk rasa.

Masih segar dalam ingatan saya Wiranto menambahkan begini. Kita mesti atur bagaimana caranya hak unjuk rasa itu tidak hilang hanya karena aturan demi menjaga ketertiban umum.

Dia punya proposal awal yang hendak diusulkan kepada pemerintah. Dia menyebut  Stadion Lebak Bulus sebagai lokasi berunjuk rasa. Masyarakat tinggal melaporkan kepada polisi jika  hendak berunjuk rasa dengan mencantumkan hari, tanggal, jam, serta  jumlah massa. Juga mencantumkan nama pejabat yang mau didemo.

“Nah! Kita tinggal bawa pejabatnya ke sana. Misalnya mau demo Menpen, yah kita bawa Pak Harmoko ke sana,” ujar Wiranto.
“Tapi jangan ditulis dulu yah. Soalnya saya belum melapor ke Pak Kumis,“ pinta Wiranto. Pak Kumis yang dimaksud adalah Faisal Tanjung, Panglima ABRI.