Muchlis menambahkan, keragaman bukan untuk dibenturkan, sehingga saling menegasikan dan menafikan. Tetapi, perbedaan untuk saling mengenal dan berkomunikasi dalam wadah perjumpaan (lita’aarafuu) (QS. Al-Hujuraat: 13). Esensi dari ta’aaruf adalah saling menolong dan bekerjasama dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.
Modal dasar bekerjasama adalah kesadaran bahwa manusia berasal dari Adam dan Hawa. Sebagai manusia, semua anak keturunan Adam, tanpa terkecuali, terlepas dari perbedaan agama, bahasa, suku bangsa dan warna kulit, mendapatkan kemuliaan yang sama dari Allah Swt (QS. Al-Isra: 70). Sehingga, benar ungkapan Imam Ali, manusia yang bukan saudara seagama denganmu (akhun laka fi al-diin) adalah setara denganmu dalam kemanusiaan (nazhiirun laka fil khalq).
Dalam konteks negara bangsa, perjumpaan antara warga bangsa yang berbeda tidak akan terjadi tanpa ada rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-taraahum). Perbedaan dalam hal apa pun, termasuk perbedaan agama dan cara pandang keagamaan, tidak boleh menghalangi terwujudnya kerjasama dalam wadah saling mengasihi. QS. Al-Mumtahanah: 8 dan 9 secara tegas menyatakan hal tersebut. Demikian pula fakta kehidupan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah Saw.
Selain Muchlis, dari Indonesia hadir dalam seminar tersebut Rektor UIN Arraniry, Prof. Dr. Warul Walidin, Rektor IAIN Jember, Prof. Dr. Babun Suharto, Warek 1 UIN Arraniry, Dr. Gunawan. (wt)