Sementara itu, Syeikh M. Abu Zaid al-Amiri menambahkan pentingnya membuka wawasan umat agar bisa menyikapi perbedaan dan menghormati pendapat yang berbeda. Islam agama yang menghargai pluralitas (ta`addudiyyah). Inilah metode yang diterapkan di Al-Azhar. Di tingkat dasar dan menengah siswa dikenalkan dengan mazhab tertentu sesuai pilihannya; Hanafi, Maliki, Syafi`i atau Hambali. Setelah itu diajarkan perbandingan mazhab, sehingga siswa memahami argumen setiap mazhab dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Bahkan, meski dalam teologi Al_Azhar menganut paham Asy’ariyah, aliran lain seperti muktazilah juga diajarkan. Dengan metode yang menghargai perbedaan, menurut Abu Zaid, lembaga Pendidikan Al- Azhar Mesir bisa bertahan selama lebih dari seribu tahun, tepatnya 1079 tahun. Selain itu, Al-Azhar juga menanamkan ajaran cinta tanah air. “Cinta tanah air dan bela negara adalah bagian dari maqâshid syari`ah (tujuan pokok agama), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan/kehormatan,” ujar Abu Zaid.
Selain memiliki unit Marshad al-Azhar yang memantau dan mengkounter pemikiran ekstrem, Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) yang juga dipimpin oleh Grand Syeikh Al-Azhar memberikan perhatian kepada mahasiswa asing dan para da’i dari negara-negara yang rawan ancaman ekstremisme. Menurut Osama Yasin, mahasiswa asing tingkat akhir dari negara-negara tersebut diberi pelatihan khusus tentang kontra-ekstremisme, sehingga sekembalinya ke tanah air mereka siap menghadapi itu semua.
Mendengar penjelasan itu, Menag Lukman menyatakan sepakat sepenuhnya dengan pandangan para ulama. Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin Menag Lukman tanyakan, tetapi waktu pula yang membatasi perbincangan. (wt)