Palu – Masih segar dalam ingatan ketika pada 28 September 2018 lalu, Palu yang menjadi ibu kota Sulawesi Tengah, terlanda bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi. Tak hanya Kota Palu, tetapi juga meliputi wilayah Kabupaten Sigi dan Donggala
Kini, untuk mengenang peristiwa yang merenggut nyawa ribuan orang itu, Pemerintah Kota Palu berencana membangun museum bencana. Tak sebatas pengingat, tetapi museum itu nantinya juga sebagai sarana edukasi ke masyarakat.
Rencana tersebut mengemuka dalam diskusi Libun Todea di Palu, Minggu (26/5/2019). “Pembangunan museum ini menjadi agenda pemerintah ke depannya,” kata Arfan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Palu dalam diskusi.
Afan mengatakan, keberadaan museum bencana sangat penting. Selain untuk mengenang bencana yang meluluhlantakkan Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala serta Parigi Moutong, ke depannya juga sebagai tujuan wisata, serta sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Edukasi yang dia maksud yaitu memberikan pengetahuan kepada masyarakat, terutama generasi mendatang akan adanya bencana yang pernah melanda Kota Palu. Yang tak kalah penting juga sebagai sarana pendidikan kewaspadaan terhadap bencana kepada masyarakat.
“Kami masih carikan lokasi untuk pembangunan museum itu, baik museum tsunami, gempa atau likuifaksi,” ujarnya.
Rencana tersebut mendapat dukungan peneliti yang juga akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Tadulako Prof. Dr. H. Amar Akbar Ali, S.T.,M.T. yang juga menjadi salah satu narasumber utama dalam diskusi tersebut.
Bahkan, rencana itu sudah dia sampaikan kepada Wali Kota Palu Hidayat jauh-jauh hari sebelum musibah itu terjadi. “Karena cuma Palu satu-satunya kota di dunia yang punya tiga lempengan sekaligus, baik lempengan primer, sekunder maupun tersier,” katanya.
Ia bahkan pernah meminta peneliti dan ahli geologi dari Untad untuk mencari titik-titik patahan yang ada di Kota Palu. “Dan di atasnya kita buatkan air mancur agar orang tahu jika di bawahnya ada patahan,” katanya. (rep/wt)