Opini  

Stempel Demokrasi Hari Buruh

Oleh Joko Tetuko-pemimpin redaksi Transparansi

Stempel Demokrasi Hari Buruh

Pada 1 Mei 2000 menjadi titik sejarah aksi buruh di Indonesia. Ketika itu, buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh Internasional dan hari libur nasional. Aksi itu disertai mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah hingga membuat gerah pengusaha. Aksi mogok berlangsung hingga satu minggu.

Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh perusahaan lantaran ikut aksi ini. Salah satu contoh yakni PT Sony Indonesia mengancam akan memutuskan untuk pindah dari Indonesia jika buruh tidak segera ‘ditenangkan’.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat bersikeras tidak mau mengabulkan tuntuan buruh. Dia mengaku tidak sepakat dengan rencana buruh untuk melakukan aksi mogok nasional, karena hanya akan merugikan perusahanan dan pekerja.

Kontroversi SBY kian berlanjut, karena ia sering melakukan kunjungan ke luar kota atau luar negeri saat Jakarta dikepung demo besar-besaran pada 1 Mei. Menkokesra Aburizal Bakrie juga sempat menyatakan pemerintah tak akan menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional.

Pada masa pemerintahan SBY juga tuntutan yang diminta buruh bukan hanya hari libur, tetapi juga soal revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta jaminan sosial yang kemudian membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.

Namun pada 2013, SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan Hari Buruh Internasional yang doperingati seluruh penduduk dunia.

Kontrak Kerja
Apakah kontrak kerja dalam peraturan perundang-undangan sudah berpihak kepada buruh? Atau hanya simbol sebagai penguatan stempel demokrasi bahwa buruh mendapat tempat suci. Hari Buruh 1 Mei 2019 inilah sudah saatnya pekerja/buruh menyatakan pendapat dan sikap menuju kehidupan yang makmur dan sejahtera. Sebab Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Hal ini baru langkah awal, tetapi belum memberi jaminan hukum sebagai penguatan pekerja/buruh.

Di Indonesia banyak peraturan dalam perjanjian kontrak diputarbalikkan menjadi ’’titik lemah’’ pekerja/buruh. Misalnya, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang pekerjanya sering disebut karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Padahal, praktiknya dilakukan perusahaan yang sudah pasti melakukan produksi jenis produk yang sama bertahun-tahun.

Walaupun ada ketentuan PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu; (2) dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker (Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu; (3) dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama; dan (4) tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja Batal Demi Hukum (Pasal 58 UU No. 13/2003), tetapi di lapangan masih belum dilaksanakan secara totalitas dengan baik.

Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), berdasarkan pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap
Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan sudah mengatur cukup baik, tetapi praktik di lapangan masih banyak yang belum melaksanakan dengan baik, bahkan harapan hubungan sangat harmonis antara pekerja/buruh, penguasaha, dan pemerintah (dalam hal ini Disnaker sampai Kementerian Tenaga Kerja), kurang mendapat perhatian. Padahal di sinilah proprosional Hari Buruh dengan menjaga kualitas pekerjaan dan profesional dalam bekerja, Bukan sekedar memperingati dengan hura-hura, demo atau atraksi kurang simpati sampai merugikan masyarakat umum, apalagi sekedar kegembiraan memperingati hari libur nasional.

Hari Buruh ialah meletakkan stempel demokrasi pekerja/buruh secara bersama-sama memakmurkan pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah (kementerian tenaga kerja). Bukan saling merugikan. (*)