Andi Budi, Caleg DPR yang Dapat Amanah Ketua Umum PBNU

Andi Budi, Caleg DPR yang Dapat Amanah Ketua Umum PBNU

Bagaimana dengan masyarakat pemilih ?

Sejak September 2018, saya sudah gemar blusukan ke kampung-kampung yang ada di Sidoarjo dan Surabaya. Ratusan titik (kampung) sudah saya datangi untuk menyapa masyarakat secara langsung. Bahkan, selain menyampikan program-program pemberdayaan umat jika nanti lolos ke Senayan, saya juga menggelar sejumlah kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat pemilih.

Jadi, blusukan ini adalah salah satu bentuk dari keseriusan saya sebagai caleg. Saya selalu melakukan komunikasi persuasif, sehingga banyak menyerap aspirasi mereka. Karena itu, saya akan terus memaksimalkan blusukan, turun bertemu masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Saya target, hingga jelang coblosan April mendatang, blusukan saya mencapai 500 titik. Blusukan adalah model pendekatan saya. Dan Alhamdulillah, mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.

Namun, ada juga fakta lain yang saya temukan dari kegiatan blusukan ini, tentang masih banyak masyarakat yang belum paham pemilu 2019. Terutama dari segi mekanisme pencoblosan. Ini terjadi karena lemahnya sosialsiasi dari KPU. Makanya, sebagai caleg, bukan hanya mengenalkan profil kepada masyarakat, tapi saya juga ikut membantu melakukan sosialisasi agar penyelenggaraan pemilu serentak berjalan sukses.

Mestinya, masing-masing caleg juga bisa membantu untuk suksesnya penyelenggaraan pemilu. Kalau tidak bergerak, banyak hambatan di bawah. Masyarakat tidak bisa nyoblos kalau tidak diberi iformasi. Apalagi ini nanti ada lima surat suara. Jangankan masyarakat yang kurang berpendidikan, yang berpendidikan saja susah kok.

Fakta lainnya, tidak semua masyarakat pragmatis dan apatis terhadap pemilu. Kalau ada masyarakat pragmatis, itu terjadi karena sistem pendekatan yang salah. Selama ini, masyarakat hanya berhubungan dengan tim sukses dan koordinator pemenangan. Padahal, masyarakat butuh mengenal langsung terhadap calon. Kalau hanya didatangi oleh relawan dan koordinator, itu tentu membuat masyarakat pragmatis. Tapi kalau turun langsung, yang diuntungkan adalah esensi suatu hubungan. Karena wakil rakyat dan rakyat yang diwakili butuh kehadiran wakilnya. Mereka khan ingin mengenal wakilnya.

Kesukaan Anda dalam meneliti, melahirkan karya buku tentang Joko Widodo ?

Meneliti itu adalah hobi. Dan itu sudah mulai saya lakukan ketika masih mahasiswa magister ilmu komunikasi di Universitas Mercua Buana Jakarta. Dorongan itu muncul, karena saat menjadi staf khusus di DPR RI, saya sering berjumpa dan berkomunikasi dengan orang-orang berpengaruh dari elit politik maupun pejabat Negara.

Selama ini, saya banyak meneliti tentang elit-elit politik di DPR RI. Semisal mengkaji beberapa tokoh penting dalam menjalankan politik praktis. Saya banyak komunikasi ketokohan, melihat figur seseorang, style tokoh tertentu, saya punya banyak stok untuk menulis banyak tokoh.

Di antara hasil penelitian saya yang sudah dibukukan itu adalah buku  berjudul ‘Komunikasi Politik Jokowi’ dan buku ‘Politik Kerja Jokowi’. Kehadiran tulisan atau buku yang menjelaskan tentang tokoh akan membuat masyarakat terinspirasi. Generasi muda yang tidak semasa dengan tokoh tertentu, akan mengetahui biografi tokoh itu dari beberapa tulisan dan buku. Seorang tokoh, juga akan terjaga integritasnya karena ada buku. Buku memiliki pengaruh yang cukup berguna untuk kecerdasan bangsa.

Soal mengapa dua buku saya tentang Jokowi, karena saya menilai gaya komunikasi politik yang dilakukan beliau sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga saat ini menjadi Presiden RI menarik untuk diamati. Salah satu gaya komunikasi politik khas Jokowi adalah selalu memposisikan diri sebagai pelayan rakyat. Salah satu bentuknya adalah melakukan blusukan ke daerah-daerah.

Saya istilah kan bahasa Inggrisnya public serven communication style. Dia sudah kelihatan bagaimana tidak merasa dirinya sebagai Presiden. Jadi dia merasa seperti rakyat biasa, selalu apa adanya melihat sesuatu yang fakta di lapangan.

Gaya komunikasi politik kedua yang dipakai Jokowi, adalah Sendiko Dawuh. Sendiko Dawuh itu artinya seorang yang selalu taat tunduk pada orang-orang yang dianggap senior dan mumpuni, semisal para tokoh agama.

Apa yang perlu diperjuangkan untuk peneliti ketika Anda dipercaya masyarakat menjadi legislator ?

Berawal dari rasa suka meneliti, bersama sejumlah tokoh lainnya seperti Prof Burhan Bungin yang kini ketum IQRA dan ketua DPR Bambang Soesatyo, saya salah satu bagian dari penggagas berdirinya asosiasi peneliti Indonesia Qualitative Researcher Association (IQRA). Saya kebetulan dipercaya sebagai bendahara umum.

Saat ini, anggota IQRA sudah lebih dari 1.200. Mereka berasal dari berbagai kampus di Indonesia, dan Litbang dari sejumlah lembaga. Itu mengartikan, bahwa begitu banyak peneliti yang masuk dalam asosiasi ini.

Namun, dibanding dengan Negara lain, Indonesia masih kurang peneliti. Amerika bisa ke luar angkasa, itu karena research (penelitian). Insya Allah, jika menjadi legislator, akan memperjuangkan research menjadi bagian penting dari pendidikan, ekonomi, dan pariwisata. Sebab, jika semua aspek dilakukan dengan penelitian maka hasilnya akan maksimal.

Di internal Partai Golkar, Anda masuk empat besar influencer atau sebagai orang berpengaruh di masyarakat ?

Itu penilaian dari jaringan medsos kader Golkar di bawah kendali Pak Indra Jakile (Dewan Pakar Partai Golkar). Memang, sejak Partai Golkar dipimpin Airlangga Hartato, saya mendapatkan banyak kesempatan menjadi panitia di sejumlah kegiatan.

Sebagai caleg dapil Sidoarjo dan Surabaya, saya juga banyak kegiatan karena sering blusukan, sehingga banyak diliput teman-teman wartawan. Blusukan itu sendiri menjadi strategi kampanye saya di Pileg 2019 ini. (wetly aljufri)