“Bangunan harus bagus dari aspek teknis, tapi fungsinya juga harus bermanfaat bagi masyarakat. Tidak semata-mata bangunan dalam arti fisik semata, tapi juga menjadi ruang berinteraksi, membangun keakraban, dan sebagainya,” ujar Anas yang pernah mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Keterlibatan arsitek di Banyuwangi terekam jelas, contohnya seperti bangunan Pendopo dan Taman Blambangan dirancang Adi Purnomo. Adapun Andra Matin adalah arsitek dari Bandara Banyuwangi, Terminal Pariwisata Terpadu, dan RTH Taman Sayuwiwit. Yori Antar mendesain ruang terbuka hijau Kedayunan dan rest area di Ijen. Sedangkan Budi Prodono mendesain Stadion Diponegoro dan Lapangan Atletik GOR Tawangalun.
Banyuwangi juga mewajibkan bangunan baru berskala besar untuk memasukkan unsur budaya lokal dalam arsitekturnya, seperti hotel hingga gedung perkantoran. ”Ini upaya menitipkan kebudayaan kami agar lestari. Maka di Banyuwangi kita bisa melihat hotel berbintang memasukkan batik bermotif Gajah Oling dalam arsitekturnya, dan sebagainya,” papar Anas.
Sementara itu, Chief Editor Archinesia Imelda Akmal mengatakan, tur arsitektur ini dilakukan sebagai ajang saling mencari inspirasi. Banyuwangi dinilai layak dikunjungi karena perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir diiringi dengan keterlibatan arsitek.
“Biasanya kami tur ke negara lain, namun di awal tahun ini secara khusus kami ajak ke Banyuwangi, dan banyak yang berminat ikut. Mereka tertarik karena banyak arsitek nasional yang terlibat di sini,” kata Imelda.(jam)