Pemkot Surabaya Punya Strategi Khusus Tangkal Berita Hoax

Pemkot Surabaya Punya Strategi Khusus Tangkal Berita Hoax
Pemkot Surabaya Punya Strategi Khusus Tangkal Berita Hoax

Pihaknya juga mengaku, mempunyai strategi khusus dalam menangkal beredarnya kabar hoax di masyarakat. Selain dibantu dengan organisasi KIM, media sosial dan website resmi juga dimaksimalkan untuk menangkal beredarnya kabar hoax tersebut. “Kita juga punya media sosial Sapawarga dan juga bekerja sama dengan Bagian Humas. Kita sampaikan ke masyarakat jika ada berita-berita yang tidak benar,” kata dia.

Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Masitoh Indriani, mengapresiasi atas upaya yang dilakukan Pemkot Surabaya dalam menangkal berita-berita hoax.

“Saya mengapresiasi Sapawarga dan BPB Linmas, karena sudah membantu masyarakat dalam mengatasi beredarnya kabar-kabar hoax,” katanya.

Masitoh mengungkapkan, fenomena hoax tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi, juga di negara-negara lain. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat yang berpendidikan tinggi pun bisa terserang hoax. “Jadi di mana-mana orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi pun bisa terkena hoax. Ini adalah gejala global,” ungkapnya.

Data penelitian Fakultas Hukum Unair menyebutkan, ada tujuh media yang biasa dijadikan alat untuk penyebaran hoax. Yakni melalui radio, email, media cetak, televisi, situs web, aplikasi chatting (whatsapp, line, telegram) dan sosial media (facebook, twitter, instagram, path).

Namun, kata Masitoh, sosial media masih mendominasi tertinggi sebagai alat penyebaran hoax tersebut. Yakni, dengan prosentase 92,40 persen, kemudian diikuti aplikasi chatting dengan prosentase 62,80 persen. “Hoax ini bagian kecil, namun dampaknya yang luar biasa,” imbuhnya.

Ia menambahkan, minat baca masyarakat menjadi salah satu indikator penyebab seseorang gampang terserang hoax. Sebab menurutnya, terkadang masyarakat jika mendapat sebuah informasi langsung mencerna, tanpa melakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut.

Menurut dia, gelombang sebesar apapun jika literasi kurang, maka seseorang akan mudah terjerumus dalam kabar hoax. “Jadi kita kembalikan ke pribadi kita masing-masing, apa kita sudah cukup terliterasi,” tukasnya. (wt)