“Pengukuran atas sertifikat no 64 di Desa Gebang Sidoarjo belum dilaksanakan, jadi tidak muncul warkah baru di kantor pertanahan. Warkah itu dijadikan salah satu dasar untuk proses pengurusan AJB dan APHB. Saya juga tidak menerima biaya apapun baik dari pihak penjual dan pembeli.
Ini jelas ada upaya kriminalisasi terhadap saya selaku notaris. Semua bukti termasuk tanda terima asli ada pada saya. Mengherankan jika saudari Pudji sampai mengalami kerugian sebesar Rp4,2 miliar, dari mana perhitungannya?” ujar terdakwa.
Saksi pelapor sendiri mengaku telah menguasai lahan itu sejak tahun 2011 meski pembayarannya belum lunas. Diakuinya pula, transaksi pembelian tanah itu dilakukan langsung kepada penjual. Keterangan ini disampaikan dalam persidangan Kamis (15/02). ”Sejak tahun 2011 sampai sekarang saya berhak menguasai lahan itu,” ujarnya.
Sementara itu, H Choiron salah satu dari enam ahli waris lahan tersebut mengatakan, sertifikat dimaksud ada pada dirinya. Ia juga tidak pernah merasa menjual lahan miliknya kepada saksi korban.
“Saya yang ambil sertifikat itu di notaris Lutfi Afandi karena tidak berniat untuk menjualnya. Sertifikat itu saya amankan karena lahannya memang masih satu hamparan,” katanya.
Hal senada juga terlontar dari Rusianto salah satu ahli waris lahan tersebut. Kepada Ketua Majelis Hakim ia mengatakan, pembayaran lahan yang jadi bagiannya hingga kini tak kunjung dilunasi.
Harga tanah itu pada tahun 2011 dihargai Rp19.500 per meter. “Banyak biaya yang muncul dibebankan kepada kami termasuk biaya pengukuran yang tidak pernah kami sepakati,” jelasnya. (den)