Wartawan Kita

Wartawan Kita

Catatan Ilham Bintang

Pengantar Diskusi Forum Pemred, 5 September 2019

Saya yakin semua kita tahu, namun saya tidak pernah jemu untuk mengingatkan kembali. Sampai hari ini wartawan, termasuk satu dari 4 professi yang diakui oleh masyarakat. Tiga lainnya: guru, advokat, dan dokter.

Sekurangnya, ada empat syarat yang harus dipenuhi seseorang disebut professional.
1. Punya pekerjaan tetap yang dari pekerjaan itu dia memperoleh nafkah.
2. Pekerjaannya punya organisasi.
3. Organisasinya memiliki kode etik
4. Organisasinya memiliki lembaga pengawasan penaatan kode etik. Wartawan professional tentu harus memenuhi empat syarat itu.

Tidak Berorganisasi

Dalam banyak acara diskusi dengan wartawan di banyak daerah di Indonesia, saya mencatat beberapa data mencengangkan. Ternyata tidak semua wartawan berorganisasi. Saya pernah menghentikan pemaparan  oleh sebab itu. Sia- sia berdiskusi dengan pihak yang mengaku wartawan tapi tak berinduk pada satu pun organisasi wartawan. Tidak berorganisasi  otomatis yang bersangkutan juga tidak menaati kode etik jurnalistik.

Bagaimana  mereka bisa bekerja benar sebagai wartawan? Bagaimana mereka bisa meyakinkan masyarakat sebagai pengemban  amanah fungsi kontrol sosial secara  terukur menurut prinsip kerja jurnalistik yang benar? Namun faktanya, mereka tetap aman bekerja, dipercaya publik dan didengar para pejabat.

Mungkin berkat itu, karena sampai  hari ini, wartawan masih termasuk satu dari 4 professi yang diakui oleh masyarakat.

UU Pers no 40 / 99 menyebut terang benderang kedudukan  organisasi wartawan dan kode etik jurnalistik di dalam Pasal 7.  Ayat 1 pasal 7 UU Pers itu menyebutkan “ wartawan bebas memilih organisasi wartawan”.
Sedangkan Ayat 2, menyebutkan “wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”.

Memang pernah dalam satu kurun ayat 1 “ wartawan bebas memilih organisasi wartawan” menimbulkan perdebatan. Padahal, pasal itu hanya menggugurkan kedudukan PWI yang puluhan tahun menjadi satu- satunya organisasi wartawan di Indonesia. Bukan dimaksudkan wartawan bebas tidak berorganisasi.

Persoalan makin  keruh karena  paham itu justru dikembangkan oleh seorang tokoh pers yang pernah memimpin Dewan Pers. Ini bertentangan sendiri dengan tujuan  Dewan Pers mendata dan melakukan  verifikasi terhadap organisasi wartawan.

Tidak jelas apakah itu yang menyebabkan  hingga saat ini hanya tiga organisasi wartawan yang diakui atau memenuhi syarat  Dewan Pers. Padahal, kita mencatat ada puluhan organisasi wartawan yang ikut membentuk Dewan Pers di awal reformasi. Termasuk menyusun KEJ itu.

Turut menambah kegaduhan adalah Komisi Penyiaran Indonesia yang mau mengatur pula produk jurnalistik. Landasannya hanya pada P3SPS produk KPI.  Padahal itu domain UU Pers No 40 /1999.  UU no 32 Tentang Penyiaran tahun 2002 sendiri pun mengecualikan karya jurnalistik dari pengawasan KPI. Lihat pasal 42. “ Wartawan penyiaran yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundangan lainnya.”

Pertanyaan berikutnya: kode etik jurnalistik apa yang dipedomani oleh wartawan yang tidak berorganisasi itu? Padahal,  kita tahu kode etik jurnalistik pada awal reformasi adalah produk dan pemberlakuannya disepakati bersama oleh 26  organisasi wartawan pada tahun 1999 dengan nama KEWI.

Yang jelas, beberapa  hasil survey yang pernah dilaksanakan Dewan Pers  di lapangan mengkomfirmasi tingkat pengabaian kode etik jurnalistik oleh wartawan.
Hasil penelitian Dewan Pers terhadap pemahaman Kode Etik Jurnalistik tahun 2007 berikut ini.
1.  Sebanyak 22% pernah membaca KEJ seluruhnya.
2. Sebanyak 18% tidak pernah membaca sama sekali.
3. Sebanyak 60% pernah membaca tetapi  sebagian (beberapa pasal KEJ aja).
Dengan kata lain, 78% tidak pernah membaca KEJ secara lengkap (Wina Armada Sukardi, _Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik_ , Dewan Pers, Oktober 2007)

Tahun 2010 Dewan Pers memulai usaha mengatasi problem pengabaian kode etik jurnalistik melalui ujian kompetensi wartawan. Tujuannya mengetatkan rekrutmen wartawan. Supaya hanya wartawan yang telah mengantongi sertikat kompetensi wartawan yang boleh beroperasi di lapangan.

Hingga saat ini, tercatat sekitar 15 ribu wartawan telah mengantongi sertifikat kompetensi itu, terbanyak dari PWI, sekitar 13 ribu. Selesaikah persoalan?
Menurut Marah Sakti Siregar, Tenaga Ahli dan  anggota Pokja Pendidikan dan Pengembangan profesi kewartawanan Dewan Pers, UKW itu belum efektif. “

Data pertengahan Juli 2017 tercatat peningkatan pelanggaran KEJ sampai 20 %. Jika pd periode yg sama masuk 800 laporan pengaduan masyrakat. Maka pertengahan  Juli  saja sudah ada 600 laporan yg masuk. Jadi diperkiran angka laporan itu bisa naik mencapai minimal 1000 pengaduan.

Dan sama sepert hasil tahun sebelumnya, 75-80 % pengaduan tersebut setelah diperiksa Komisi Pengaduan, benar pelanggaran KEJ. Dan terbanyak adalah pelanggaran pasal 1 (berita kurang atau tidak berimbang) dan pasal 3 ( kurang uji informasi alias kurang verifikasi).

Namun, mantan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat ini, masih akan meneliti  lebih dalam soal jumlah pengaduan itu. Apakah berkaitan langsung dengan pelanggaran wartawan atau lebih menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengadu,”  tambah Sakti.

Konsep operasional moral wartawan

Prinsip kerja jurnalistik secara universal adalah membuka semua hal,  termasuk hal yang mau ditutupi oleh orang lain. Siapa pula yang mau dibuka hal yang justru mau ditutupnya. Itulah sebabnya wartawan dilengkapi kode etik jurnalistik yang wajib ditaati selain peraturan perundang-undangan yang memberi hak dan perlindungan terhadap professi wartawan.