Oleh : Ahmad Setiawan SH, MH
(Advokat, Praktisi Hukum & Managing Partner AS Law Firm Koordinator LBH No viral No Justice Magetan)
Beberapa waktu yang lalu ramai diberitakan sebuah tambang yang terletak di desa Trosono kecamatan Parang kabupaten Magetan longsor yang mengakibatkan seorang sopir truk yang antri mengambil material tambang tewas.
Kejadian tersebut sontak menjadi buah bibir pemberitaan di Magetan. Tehnik penggalian yang menggunakan undercut dianggap menyalahi tehnik ekspolitasi tambang galian C. Tinggi tebing tambang yang lebih dari 15 meter tegak lurus dianggap sangat berbahaya dan rentan longsor.
Akan lebih baik dan aman ketika menggunakan tehnik terasering. Banyak juga yang mempertanyakan perijinan tambang tersebut apakah sudah lengkap dan siapa yang mengeluarkan ijin, memonitor kegiatan penambangan tersebut.
Dasar hukum untuk tambang galian C adalah Undang undangnomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas undang undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengubah terminology minertal dan Batubara menjadi batuan.
Kemudian pemerintaj juga mengeluarkan PP nomor 23 tahun 2010 yang mengatur lebih rinci pemberian ijin usaha pertambangan batuan. Peraturan teresebut diperkuat melalui Undang undang no 2 tahun 2025. Pada peraturan tersebut istilah galian C sudah tidak lagi dipergunakan dan diganti dengan istilah “batuan”.
Kewenangan izin usaha pertambangan batuan (IUP Batuan) atau sekarang dikenal dengan istilah Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) diurus sesuai dengan kewenangan berdasarkan Lokasi dan luas wilayahnya.Dimulai dari Pemerintah pusat (Menteri ESDM), provinsi (Gubernur) hingga kabupaten kota (Bupati/walikota).
Izin Usaha Pertambangan adalah bersifat khusus yang artinya izin yang berbeda diperlukan untuk komositas pertambangan yang berbeda seperti mineral logam,Batubara maupun batuan.
Menjalankan usaha pertambangan dan tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi pidana. Klasifikasi galian golongan A adalah bahan tambang yang sangat penting untuknegara misalkan minyak bumi, Batubara dan gas alam. Galian B adalah bahantambang yang vital untuk hajat hidup orang banyak seperti logam dan unsur unsur lainnya. Sedangkan galian C adalah tambang yang tidak memiliki nilkai strategis dan vital, bahan ini dipergunakan untuk industry dan kontruksi misalkan pasir, batu, tanah liat dan marmer. Kewenangan memberikan izin galian C berdasarkan Undang undang nomor 3 tahun 2020 adalah ditangan pemerintah pusat dalam hal ini kementrian energi dan sumber daya mineral.
Pemerintah daerah berperan untuk menerbitkan rekomendasi tata ruang dan dokumen lingkungan hidup. Pemerintah daerah juga memiliki kewenangan menerbitakan izin jika kewenangan tersebut di delegasikan oleh pusat. Pemerintah saat ini sedang merevisi Perpres 55 tahun 2022 untuk mengalihkan izin galian C ke pemerintah pusat.
Kementerian ESDM sedang mengevaluasi kewenangan ini. Peraturanini juga mencakup beberapa aspek termasuk perizinan, pengelolaan dan pengawasan pertambangan serta kebijakan baru terkait tarif royalty dan peningkatan nilai tambah mineral dan batuan.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2025 mengatur tentang jenis danntarif penerimaan negara bukan pajak di kementrian ESDM. Meski demikian masih banyak tambang tambang yang tidak berizin atau illegal.
Kegiatan izin ini dilakukan tanpa izin resmi daripemerintah, melanggara peraturan perundang undangan dan rtidak mengikuti prinsip prinsip penambangan yang baik. Kegiatan ini berpotensi merugikan negara dan menimbulkan konflik sosial. Dampak tambang illegal selain bisa merugikan negara dengan hilangnya potensi pendapatan negara juga bisa merusak lingkungan dan bisa mengakibatkan kecelakaan kerja seperti yang terjadi di tambang desa Trosono kecamatan Parang Kabupaten Magetan.
Perusahaan harus melaksanakan pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan secara ketat. Perusahaan juga berkewajiban untuk memulihkan lahan dan lingkungan pasca tambang sesuai standar yang ditetapkan.
Jadi tanggung jawab tambang galian C di suatu daerah terletak pada pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang meliputi aspek tehnis,keselamatan kerja dan lingkungan, namun juga melibatkan pemerintah daerah (Gubernur/Bupati/walikota) dalam hal pengawasan dan pembinaan agar sesuai dengan regulasi dan berkontribusi pada pendapatan daerah (PAD).
Berdasarkan Undang undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) secara umum mengatur sanksi administrasi dan pidana bagi setiap pihak yang melanggar ketentuan lingkungan, termasuk, pejabatpemerintah jika lalai dalam melaksanakan wewenang pengawasan dan penegakan hukum lingkungan.
Peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungandan pengelolaan lingkungan hidup.Peraturan pemerintah ini memperjelas ketentuan dalam UU PPLH termasuk mengenai kewenangan pengawasan dan mekanisme penerapan sanksi admijistratif yang bisa dikenakan kepada pemerintah daerah atau instansi yang lalai.
Jenis sanksi administrative ini bisa berupa teguran tertulis,paksaan pemerintah,pembekuan izin, hingga pencabutan izin yang merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagai penegak hukum lingkungan.
Sanksi pidana meskipun tidak langsung, ditujukan kepada kepala daerah mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berat dapat mengarah pada sanksi pidana bagi penangung jawab kegiatan atau pihak lain yang terlibat.Untuk sangsi pemberhentian jabatan sesuai undang undang pemerintahan daerah kelalaian dalam tugas dapat berujung pada sanksi pemberhentian jabatan bagi kepala daerah yang bersangkutan. (*)