Dari sisi akademisi, Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNP Kediri, Dr. Faisol, M.M., menilai inflasi Oktober mencerminkan kombinasi tekanan dari dua kutub: kenaikan harga emas dan kebutuhan pokok. “Masyarakat lebih memilih investasi non-riil seperti emas karena dianggap nyaman. Uang yang beredar terlalu banyak tapi tidak masuk ke sektor produktif akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa,” katanya.
Faisol menilai masalah inflasi pangan berulang disebabkan oleh rantai pasok dan produktivitas peternak yang rendah. “Supply chain itu dipengaruhi oleh peternak dan pelaku usaha. Dinas Peternakan harus aktif membina agar produktivitasnya terjaga,” ujarnya. Ia juga menyoroti tren aging population di Kediri yang menekan investasi riil. “Kalau usia lanjut tidak produktif, maka anak muda menunda ekspansi usaha karena pendapatannya habis untuk kebutuhan keluarga,” jelasnya.
Menurutnya, solusi jangka panjang perlu diarahkan pada investasi riil di sektor pertanian dan usaha kecil. “Ketika masyarakat didorong untuk berinvestasi riil, misalnya membuka usaha kecil, maka uang akan berputar secara produktif dan mengurangi tekanan pada ketersediaan barang,” tandasnya.
Sementara itu, pedagang telur di Pasar Bandar, mengaku harga telur mulai turun dari Rp30.000 menjadi Rp29.000 per kilogram di awal November, namun penjualan justru menurun.
“Sekarang pembeli banyak yang beralih ke pasar modern, sementara di pasar tradisional makin sepi,” ujarnya.(*)





