Kediri  

Golkar Kota Kediri Buka Rumah Aspirasi, Warga Keluhkan Data Bansos dan Ijazah

Sudjono Teguh Wijaya Golkar Kota Kediri bukan sekadar buka posko politik, tapi rumah nyata tempat warga menyampaikan keluhan dari data bansos hingga ijazah yang tak kunjung bisa ditebus.

Golkar Kota Kediri Buka Rumah Aspirasi, Warga Keluhkan Data Bansos dan Ijazah
Ketua DPD Partai Golkar Kota Kediri, Sudjono Teguh Wijaya, memberi sambutan pada acara peresmian Rumah Aspirasi Rakyat di Kantor DPD Golkar Kediri, Sabtu (25/10/2025). Kegiatan ini menjadi wadah warga menyampaikan keluhan dan gagasan secara langsung kepada partai.(Foto: Moch Abi Madyan)

KEDIRI (WartaTransparansi.com) – DPD Partai Golkar Kota Kediri meluncurkan Rumah Aspirasi Rakyat, wadah baru bagi masyarakat untuk menyampaikan langsung keluhan dan gagasan kepada partai. Inisiatif ini menjadi langkah konkret Golkar memperkuat kedekatan dengan warga akar rumput sekaligus menegaskan peran partai politik dalam memperjuangkan persoalan sosial masyarakat.

Peresmian digelar di kantor DPD Golkar Kota Kediri, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelurahan Ngronggo, Sabtu (25/10/2025). Acara berlangsung interaktif, dihadiri pengurus partai, tokoh masyarakat, serta warga dari berbagai kelurahan. Tak hanya seremonial, kegiatan ini menjadi ruang dialog terbuka antara kader Golkar dan masyarakat.

Ketua DPD Golkar Kota Kediri, Sudjono Teguh Wijaya, menegaskan bahwa rumah aspirasi bukan sekadar simbol partai, melainkan wadah nyata untuk menampung dan menindaklanjuti persoalan warga.

“Rumah aspirasi ini milik masyarakat. Siapa pun boleh datang menyampaikan keluhan atau gagasan. Jadi nanti panjenengan semua, baik simpatisan, wartawan, maupun warga Kota Kediri apabila ada keluh kesah mengenai Pemerintah Kota Kediri, bisa langsung ke rumah aspirasi rakyat,” ujar Sudjono, yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Kediri.

Dialog publik tersebut memunculkan berbagai keluhan warga. Salah satunya datang dari Teguh, Ketua RT di Kelurahan Burengan, yang mengeluhkan rumitnya pembaruan data penerima bantuan sosial (bansos) setelah diterapkannya sistem Desil yakni pengelompokan penerima bantuan berdasarkan tingkat kesejahteraan.

“Sekarang ini sudah banyak perubahan, Pak. Kami mau mengajukan perubahan data anak miskin tidak bisa, karena harus masuk Desil satu, dua, tiga, sampai lima. Kalau sudah Desil enam ke atas, tidak bisa lagi. Mohon dibantu, Pak Sudjono,” ujarnya di hadapan peserta dialog.

Menanggapi itu, Sudjono menilai sistem Desil sering tak mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Banyak warga miskin justru masuk kategori tinggi dan kehilangan hak menerima bantuan.

Penulis: Moch Abi Madyan