SURABAYA – Kita semua tahu bahwa kota merupakan titik pertemuan antara berbagai kepentingan: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di dalamnya kehidupan bergerak cepat, sarat kompetisi dan penuh dinamika.
Di tengah hiruk pikuk itu, kesenian hadir sebagai cermin, kritik, dan juga pelipur. Namun, ketika industrialisasi berkembang pesat seperti yang terjadi di kota besar semacam Surabaya, ruang bagi kesenian kerap kali menyempit, baik secara fisik maupun simbolik.
Sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, Surabaya menunjukkan transformasi drastis dalam beberapa dekade terakhir. Dari kota pelabuhan dengan akar kolonial, berkembang menjadi pusat industri, perdagangan dan jasa. Pembangunan infrastruktur pun berjalan masif.
Tetapi ada harga yang harus dibayar di balik kemajuan tersebut. Ruang-ruang publik yang dulunya menjadi wadah berekspresi seniman lokal perlahan tergeser oleh kepentingan komersial. Kompleks Balai Pemuda, yang semula menjadi titik kumpul seniman muda, kini harus beradaptasi dengan tekanan ruang kota yang makin padat dan seragam.
Seniman tidak lagi hanya bersaing dalam soal estetika, tetapi juga dalam memperjuangkan keberadaan mereka di tengah kota yang makin pragmatis.
Kesenian sebagai Ruang Tanding
Kesenian memang tidak bisa sepenuhnya dikalahkan oleh industrialisasi. Dalam banyak kasus, kesenian berubah menjadi medium perlawanan. Mereka menciptakan ‘ruang tanding’ terhadap narasi kota yang didominasi logika pembangunan dan ekonomi. Apa yang coba dilakukan Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) adalah membuka ruang tanding itu sebagai cara melawan ketimpangan antara industri dan kebutuhan memberi jiwa kepada kota ini.
Kota yang ideal bukan hanya kota yang efisien dan produktif, tetapi juga kota yang memberikan ruang tumbuh bagi ekspresi budaya. Kota seperti Surabaya dapat belajar dari berbagai kota dunia yang mengintegrasikan kesenian dalam rancangan tata ruang, seperti Melbourne dengan galeri publiknya, atau Berlin dengan ruang seni alternatif yang hidup berdampingan dengan kawasan industri.
Kota yang baik bukan kota yang meniadakan konflik antara fungsi ekonomi dan budaya, melainkan kota yang mampu mengelolanya secara adil. Kesenian tidak harus menjadi korban kemajuan. Sebaliknya, ia bisa menjadi mitra dalam membentuk identitas kota yang berdaya, inklusif, dan berjiwa. Maka perlu keberanian kebijakan dan solidaritas komunitas untuk memastikan bahwa di tengah gegap gempita pembangunan, suara-suara estetika tetap punya tempat untuk bersuara dan hidup.