SURABAYA (WartaTransparansi.com) — Wibawa Pengadilan Negeri Surabaya kini tengah dipertanyakan setelah perkara perdata nomor 710/Pdt.G/2024/PN Sby yang melibatkan Tan Lidyawati Gunawan sebagai penggugat kembali mengalami penundaan putusan.
Pengadilan semestinya membacakan putusan pada 9 April 2025. Namun, agenda tersebut bergeser ke 23 April, lalu 30 April, dan kini dijadwalkan ulang pada 7 Mei 2025.
“Putusan sudah ditunda hampir satu bulan sejak jadwal awal,” ujar Xavier Nugraha, S.H., kuasa hukum dari pihak tergugat.
Penundaan yang berulang tanpa penjelasan substantif menimbulkan dugaan serius terkait independensi majelis hakim. Tidak hanya publik, tetapi juga para pihak dalam perkara mempertanyakan alasan di balik sikap inkonsisten tersebut.
Dalam gugatannya, Tan Lidyawati mengklaim telah menitipkan uang, sertifikat properti, dan satu unit mobil kepada para tergugat yang merupakan menantu dan cucunya sendiri: Ng. Winaju, Amelia Agatha Gunawan, dan Figo Fernando Gunawan.
Namun, gugatan tersebut tak dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti kwitansi penyerahan atau saksi mata. Berdasarkan Pasal 1697 KUHPerdata, perjanjian penitipan bersifat riil dan harus dibuktikan dengan penyerahan nyata atas objek yang dimaksud.
Minimnya bukti autentik membuat gugatan ini lemah secara hukum. Situasi ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: mengapa majelis hakim membutuhkan waktu lebih panjang untuk membuat putusan atas perkara yang secara hukum tampak tidak solid?
Kredibilitas proses peradilan makin diragukan setelah dalam pemeriksaan setempat muncul seseorang yang bukan bagian dari pihak resmi dalam perkara. Kehadiran individu ini memperkuat dugaan adanya intervensi eksternal dalam proses hukum.
Meski belum ada keterangan resmi dari pengadilan, sinyal ketidakwajaran ini mengundang sorotan tajam publik dan praktisi hukum. Dalam konteks peradilan yang seharusnya netral dan independen, dugaan keterlibatan pihak luar merupakan ancaman serius bagi keadilan.
Perkara ini bukan sekadar konflik keluarga. Ketika proses pengambilan keputusan hukum berlarut-larut tanpa kejelasan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kepentingan para pihak, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Apalagi, perkara ini mempertemukan aspek emosional, kekeluargaan, dan kepercayaan terhadap institusi hukum.
Apakah sidang yang akan digelar pada 7 Mei 2025 mampu menghadirkan keadilan, atau justru akan memperpanjang bayang-bayang intervensi di ruang pengadilan?
Ketika lembaga peradilan tak mampu menjaga konsistensi dan ketegasan, maka ruang spekulasi akan terus membesar. Penundaan putusan sebanyak tiga kali dalam perkara ini telah menciptakan preseden yang buruk.
PN Surabaya kini berada pada titik krusial. Putusan yang akan dibacakan pada 7 Mei nanti bukan hanya akan mengakhiri sengketa keluarga, tetapi juga menjadi ujian publik atas integritas pengadilan. (u’ud)