Tak lama setelah memasang banner, ia didatangi oleh Teguh Suwito bersama sembilan orang kerabatnya yang membawa senjata tajam berupa golok, parang, dan balok bambu. Mereka dengan nada tinggi meminta Sumadi untuk mencopot banner tersebut. Namun, Sumadi menolak karena merasa lahan tersebut adalah miliknya.
“Saya tidak menggubris mereka karena lahan itu milik saya. Tapi mungkin karena saya tidak menurut, mereka langsung melakukan pengeroyokan,” tutur Sumadi.
Akibat kejadian tersebut, Sumadi mengalami luka parah dengan darah mengucur dari kepalanya. Ia tak berdaya menghadapi sembilan orang yang menyerangnya.
“Saya pasrah, saya sendirian dan mereka sembilan orang membawa senjata tajam. Saya tidak bisa melawan,” imbuhnya.
Setelah kejadian, Sumadi langsung melaporkan insiden pengeroyokan tersebut ke pihak kepolisian. Laporan itu berlanjut ke persidangan, dengan beberapa terdakwa di antaranya Teguh Suwito, Mujianto, dan Tegar Esa Dofitra.
Kejanggalan dalam Penanganan Kasus
Yang membuat Sumadi semakin bingung, meskipun ia telah melaporkan pengeroyokan tersebut dan perkaranya telah masuk ke pengadilan, ia justru mendapatkan status tersangka atas tuduhan penganiayaan.
“Banyak saksi yang melihat kejadian itu, bahkan ada rekaman CCTV. Tapi mengapa saya justru yang ditetapkan sebagai tersangka?” Kata Sumadi.
Karena merasa diperlakukan tidak adil, Sumadi berencana mencari keadilan dengan meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ia berharap pendampingan hukum dapat membantunya mengungkap kejanggalan dalam kasus ini.
“Saya akan terus berjuang agar keadilan bisa ditegakkan. Saya tidak ingin menjadi korban kriminalisasi,” tegas Sumadi.
Pihak Kepolisian Angkat Bicara
Menanggapi hal ini, Kasat Reskrim Polres Kediri Kota, Iptu M. Fathur Rozikin, membenarkan adanya perubahan status Sumadi dari korban menjadi tersangka. Menurutnya, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan hasil pendalaman penyidikan.
“Kalau ada laporan, kewajiban kami menindaklanjuti. Dalam hal ini, yang bersangkutan memang melapor, tetapi di sisi lain juga menjadi terlapor berdasarkan hasil penyidikan yang telah dilakukan, lengkap dengan barang bukti medis dari pihak dokter,” kata Iptu M Fathur.
Terkait dugaan adanya rekaman CCTV yang disebut bisa menjadi bukti, Iptu Fathur menyatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari proses penyidikan.
“Yang jelas, dalam kasus penganiayaan ada bukti visum. Sedangkan CCTV itu bagian dari proses penyidikan,” kata Iptu M. Fathur.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik, terutama terkait objektivitas dalam penegakan hukum. Masyarakat berharap agar pihak kepolisian dapat bersikap profesional dan memastikan proses hukum berjalan adil bagi semua pihak.(*)