Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024, Pengamat Surokim : Partai Hanya Jadi Pemandu Sorak 

Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024, Pengamat Surokim : Partai Hanya Jadi Pemandu Sorak 
Surokim Abdussalam

SURABAYA (WartaTransparansi.com) – Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura, Surokim Abdussalam menilai fenomena adanya Pilkada serentak dengan calon tunggal melawan kotak kosong menjadikan Pemilu kali ini tidak sehat. Karena terjadi kontra produktif dengan pembangunan demokrasi elektoral.

“Sesungguhnya adanya calon tunggal membuat Pilkada tidak menjadi ajang kontestasi  melawan petahana, tidak ada yang diperdebatkan. Tidak ada penilaian visi misi, program dan lainnya,” ujar Surokim.

Menurutnya, sesungguhnya Pilkada dengan aksi borong partai hanya memenuhi demokrasi prosedural saja. Sementara demokrasi substantifnya tidak dapat. Sehingga mereduksi nilai-nilai demokrasi. Kuasa ekonomi dan politik menjadi panglima.

“Menurut saya, esensi demokrasinya tidak ada. Aksi borong partai itu bagaikan paradoks demokrasi. Padahal, demokrasi elektoral itu sesungguhnya kontes yang sehat secara alami. Tidak boleh ada penghadangan atau pengkongkondisian paslon tunggal melawan kotak kosong,” tambahnya.

Upaya membuat kotak kosong dengan mengumpulkan semua partai menjadi satu sesungguhnya kontra produktif dengan pembangunan demokrasi elektoral. Diakuinya adanya putusan MK terbaru dengan merubah undang-undang Pilkada yang baru sebenarnya bisa meringankan. Sayangnya putusan itu datangnya terlambat. Karena partai sudah terlanjur untuk menentukan sikap sesuai UU sebelumnya.

Surokim mengakui adanya paslon melawan kotak kosong di beberapa daerah karena persoalannya kompleks. Selain karena kewajiban 20 persen memenuhi parlemen threshold,  sebelum ada aturan baru MK karena juga adanya kekuatan aktor-aktor di belakang layar yang membuat pengkondisian. Sehingga partai-partai memilih menyatu tidak membuka ruang munculnya pengajuan secara mandiri.

Selain itu, karena adanya petahana yang super kuat. Sehingga membuat keder partai lain untuk menjagokan paslon baru untuk melawan petahana. Sehingga partai memilih prakmatis saja untuk mendukung petahan dengan modif sharing power.

 “Mereka memilih mendukung petahana sebagai zona nyaman. Partai juga gagal menyiapkan calon-calon pemimpin berkualitas. Memang munculnya kotak kosong ada yang alami ada juga karena pengkondisian,” beber Surokim.

Adanya paslon melawan kotak kosong ini menjadikan pendidikan politik tidak dapat dan pemilu tidak berkualitas. Partai politik hanya seperti pemandu sorak atau grup cheerleader. Di  pilkada mereka hanya bertepuk tangan dan bersorak-sorak menepuki partai lain yang diagung-agungkan. “Anehnya, partai politik tidak merasa gagal untuk mensuplai pemimpin-pemimpin berkualitas. Padahal, Pilkada ini sudah menghamburkan uang ratusan miliar rupiah. Biaya yang tidak sedikit iini  hanya sekedar dilawankan dengan kotak kosong yang tidak bermakna,” kilahnya.

Seperti Pilgub, dengan biaya yang hampir satu miliar akan mumbazir jika ada lawan kotak kosong. Lebih bagus musyawarah mufakat yang tidak menghambur-hamburkan uang.

“Dengan adanya kotak kosong sebenarnya pemilu sudah selesai tinggal formal saja. Apa yang disebut pesta pemilu tidak dapat. Jika sudah seperti ini, tingkat partisipasi masyarakat bakal semakin menurun. Kalau pun ada yang datang memilih kotak kosong menjadikan iseng saja. Mereka apatis kehilangan harapan. Ini jadi pemilu tidak sehat. Pelajaran bagi kota bersama agar jangan ada lagi kotak kosong sehingga demokrasi punya makna,” tutup Surokim. (*)