Oleh Sumartono – Sekretaris Pusat Ormas Rakyat Djelata
Warga lereng kelud yang terbagi menjadi dua wilayah Kota Blitar dan Kabupaten Blitar saat ini sedang menantikan “Wahyu Cakraningrat”, dalam metodologi jawa bisa diartikan sebuah energi positif representasi dari simbol kekuasaan.
Penantian seorang yang bisa memimpin Kota Blitar dengan menyandang gelar wali kota dan pemimpin Kabupaten Blitar dengan menyandang gelar bupati nampaknya masih dalam proses panjang. Pasalnya banyak tokoh yang maju namun terkendala berbagai hal, seperti koalisi antar partai, rekomendasi partai bahkan sampai sampai finansial calon harus jadi pertimbangan.
Mengingat, finansial yang cukup dan memadai menjadi aspek penting dalam suatu perjuangan dan tak mungkin biaya kampanye akan dibebankan partai pengusung ataupun dibebankan pada calon itu sendiri. Pengondisian dengan berbagai macam cara perlu dilakukan di akar rumput, sebab mereka adalah kunci atau ujung tombak pemenangan di wilayah.
Dalam sinopsis pewayangan jawa, kisah wahyu cakraningrat menggambarkan para ksatria yang ingin menduduki tahta kekuasaan dengan berbagai macam intrik, halangan dan rintangan yang harus dihadapi. Bak ibarat sesosok yang berwajah manis di muka tetapi menyimpan kedengkian di hati apalagi tersembunyi di balik senyum, kepura-puraan menyelimuti kebaikan palsu.
Pada akhirnya kesatria tersebut dengan keluhuran budi, berprilaku jujur, adil, tidak sombong, rendah hati akhirnya dapat memperoleh wahyu cakraningrat. Keberhasilan tersebut tidak mudah didapatkan tanpa ada suatu pengorbanan disertai ihtiar dan tawakal dengan penuh keikhasan.
Mengulik beberapa kisah para tokoh pemimpin di negeri ini, dimana bila ingin menduduki sebuah jabatan perlu ritual atau lelaku, lakon tersebut dilakukan supaya cepat terkabulnya suatu hajat. Ritual atau suatu permohonan kepada sang pencipta dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pertimbangan yang matang.
Ritual atau lakon itu bisa dilakukan, baik dengan cara islami atau dengan cara kejawen. Cara seperti ini lumrah atau lazim dilakukan sesuai keinginan tanpa paksaan atas kehendak hati nurani yang tulus supaya cepat menggapai sesuatu yang diinginkan.
Ritual Ibadah secara islami, bagi manusia yang punya hajat dapat berkonsultasi atau meminta bimbingan khusus kepada para ustad, kyai dan ulama. Sang kyai akan mengarahkan kepada yang punya hajat untuk mengamalkan atau melakukan ibadah sunah seperti memperbanyak sholat hajat, membaca wirid tertentu dan memperbanyak sedekah. Secara umum bisa disebut mencari ridho dan rahmat dari Sang Pencipta.
Ritual secara kejawen, ritual ini biasanya dengan mendatangi tempat-tempat sakral seperti, makam tokoh terkenal, gunung, pantai bahkan candi kuno. Mereka percaya bahwa tempat tersebut menyimpan aura dan energi yang positif sehingga dianggap mempercepat terkabulnya doa.
Sedangkan masyarakatnya sendiri saat ini sedang menantikan sosok pemimpin dalam pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada tahun 2024. Rakyat mengharapkan seorang sosok pemimpin yang mampu memegang dan mengemban amanah untuk mensejahterakan rakyat.
Dimana keberhasilan seorang pemimpin digambarkan oleh masyarakat yang membawa kemakmuran, gemah ripah loh jinawi, sandang, pangan, papan murah, tersedianya lapangan kerja, terpenuhinya pendidikan gratis, infrastruktur yang baik dan adanya pembangunan berkelanjutan untuk ekonomi kerakyatan. Sedangkan menurut masyarakat, kegagalan seorang pemimpin dimata tidak terpenuhinya kriteria tersebut diatas.
Masyarakat Blitar sendiri tentu akan menyeleksi calon pemimpinnya sendiri dalam beberapa kriteria, itupun tidak lepas dari pengaruh budaya, ilmu titen dan perhitungan primbon jawa.
Di sisi lain, para calon pemimpin di kedua dearah tersebut berlomba-lomba berebut simpati dari masyarakat dengan berbagai macam strategi komunikasi. Tujuanya agar para masyararakat tahu bahwa dialah calon yang bisa memegang amanah tanpa membedakan latar belakang dan status sosial dengan menjadikan Blitar kutho cilik sing kawentar. (*)