BLITAR (Wartatransparansi.com) – Kita ketahui pada tahun 1926 NU berdiri sebagai Jam’iyyah, kemudian pada 1954 sebagai partai politik, ikut Pemilu 1955 dan menjadi pemenang ke 3 setelah Masyumi dan PNI. Setelah itu berbagai dinamika sebagai Parpol, pasang-surut hingga 1965.
Menurut Alumni PC IPNU Kabupaten Blitar 2000 – 2003, Mujianto generasi sekarang mungkin diingat (menangi) periode 1965-1971 tinggal segelintir orang dan pasang surut NU saat itu luar biasa. Ketika penumpasan G30S/ PKI bersama rakyat, TNI, dan NU luar biasa perjuangannya, sehingga mendapat apresiasi pemerintah Orde Baru.
Kata dia, menjelang Pemilu I Orde Baru, dimana NU sebagai Partai Politik menjadi pesertanya, dunia bagai terbalik, siang jadi malam, terang jadi gelap. Jika saat penumpasan G30S/ PKI, NU bagai patriot bangsa, tidak demikian saat menjelang Pemilu (1970-1971).
“Warga NU dipanggil ke kantor desa, ke aparat keamanan, di cari-cari kesalahannya agar pindah dari Partai NU. Kalau tidak mau banyak juga yang diintimidasi, bahkan dihajar habis-habisan dan ditahan. Bahkan banyak yang satu desa warganya tidak ada yang berani mengaku sebagai warga NU,” ucapnya di Warkop KPK, Minggu (30/06/2023).
Dikatakannya, mau lihat kampanye Partai NU dihalangi, diintimidasi dan yang bisa kita ingat saat-saat inilah NU sengsara, NU tinggal 1-2 pengurus yang berani, yang siap di teror, dihajar dan ditahan demi membela NU.
Pria berkaca mata menegaskan, tidak ada yang berani mengaku MI, MTs punya NU, masjid punya NU, bahkan kegiatan Yasinan saja hanya beberapa daerah yang berani. Saat itulah puncak kesengsaraan dan minimnya orang yang berani mengaku anggota NU. Jangan tanya Banom yang beberapa hanya ada ditingkat Cabang seperti Ansor, Fatayat, IPNU-IPPNU dan sebagian ada sampai Anak Cabang seperti Muslimat.
“Maka ketika tahun 1984 NU menjadi jam’iyyah, secara pelan mulai pulih dan sekarang mencapai puncak kejayaannya, sehingga siapapun sekarang hal yang biasa jika mengaku anggota NU. Tak hanya itu, meski NU merupakan jam’iyah namun prakteknya peran sosial politik menjadi bagian penting, seperti orang mau maju sebagai kepala daerah, anggota legislatif pasti minta restu dan dukungan NU, belum lagi peran pendidikan, sosial dan ekonomi, menjadi sentral subyek sekaligus obyeknya,” beber Mujianto.
Lanjutnya, tak heran jika kemudian NU sekarang menjadi rebutan, seperti sekarang ini, sudah ada Ketua terpilih masih ada yang berupaya melakukan pemilihan ulang (PU). Apalagi Rais Aam terpilih menyetujui dan melaksanakannya, hal ini tak lepas dari posisi NU yang strategis.
“Hal ini menarik oknum-pknum anak muda yangg mencoba bebagai cara agar hasil Konferensi Cabang Kabupaten 2023 di Jeblog Talun Blitar dibatalkan dan melakukan PU (Pilihan Ulang) dengan dalih dan dasar yang dibenarkan menurut mereka,” jlentrehnya.
Akankah NU kedepan hanya dipakai untuk ajang perebutan jabatan anak-anak muda yang (mungkin) tak tahu sejarah susahnya jadi warga NU, sedang mereka tahunya zaman sekarang NU punya peran strategis.
Dan akankah kondisi ini kita biarkan atau luruskan? jika kita biarkan, tentu kita berdosa kepada para pendahulu NU, para orang tua kita yang gigih mempertahankan eksistensi NU saat2 keadaan darurat, karena tanpa mereka NU hari ini sudah tidak ada. Betul slogan NU akan tetap eksis sampai kiamat, tetapi tanpa air mata, darah dan jiwa orang-orang tua kita, mustahil NU akan ada sampai hari kiamat,” tandas Alumni PC IPNU Kabupaten Blitar 2000 – 2003, Mujianto. (mar/min)