A Sapto Anggoro : Menjaga Amanah Kemerdekaan Pers

A Sapto Anggoro : Menjaga Amanah Kemerdekaan Pers
A Sapto Anggoro

SURABAYA (WartaTransparansi.com) – Menjadi anggota Dewan Pers tentu bukan karena melamar, tapi ada sekelompok orang yang mendaftarkan. Mereka meyakinkan saya, mendaftarkan, memperjuangkan. Itu bukan penghargaan, tapi saya melihatnya amanah.

“Karena amanah, kita harus melakukan yang terbaik, bukan sekadar buat kelompok itu tapi untuk semua pihak, konstituen pers Indonesia,” Ungkap anggota komisioner Dewan Pers (DP) A Sapto Anggoro dalam perbincangan melaui telepon, Minggu (7/4/2024).

Ditegaskan, untuk menjalankan amanah, tidak cukup hanya literatur dan intelektual, tapi kita harus berusaha mendengar dan merangkul sebelum membuat keputusan.

Sikap egaliter, open mind, kejujuran, meningkatkan ketajaman empati, dengan tetap menjaga kekritisan, adalah sebagian dari modal menjaga amanah tersebut. Yang pasti, meski tidak mudah dan melelahkan, tapi banyaknya kawan di berbagai daerah yang mendukung menjadikan pekerjaan terasa mudah, ujar dia

Oleh karena itu di sela pekerjaan lain saya mengurusi perusahaan, keluarga, perkumpulan, pekerjaan menjadi komisioner Dewan Pers ini lebih banyak saya utamakan, karena di sini saya dilahirkan dalam gerak langkah profesi yang saya rintis puluhan tahun silam, kata Alumnus Stikosa AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya).

Nama Sapto belakangan menjadi perbincangan insan pers dan masyarakat umumnya. Hal itu karena sikap dia yang dianggap kontroversi. Dalam kasus pengaduan Menteri BKPM Bahlil Lahadalia terkait laporan utama di Majalah Tempo berjudul “Main Upeti Izin Tambang” edisi 4-10 Maret 2024 serta ulasan soal dugaan mafia tambang dalam podcast Bocor Alus Politik yang ditayangkan di YouTube tempo.co.

Dewan Pers merekomendasikan agar Tempo sebagai teradu harus melayani Hak Jawab disertai permintaan maaf kepada Menteri Bahlil Lahadalia dan masyarakat pembaca.

Yang menarik, sebenarnya frasa permintaan maaf itu tidak bulat disetujui oleh semua anggota Dewan Pers, yang berjumlah sembilan orang. Dalam Sidang Pleno Dewan Pers dihadiri 7 orang, karena 2 orang tidak hadir di mana salah satunya abstain karena dari Tempo yakni Arif Zulkifli.

Nah, dari 7 orang tersebut, satu-satunya anggota yang menolak frasa minta maaf itu adalah A Sapto Anggoro, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers periode 2022 – 2025.

Sapto dalam kasus tersebut dissenting opinion (memiliki pendapat berbeda) yang adalah norma normal dalam hukum.

“Isi liputan Tempo adalah kontrol sosial yang bagus. Jika ada ketidakakuratan kecil ya dikoreksi saja dalam Hak Jawab” tukas pendiri tirto.id tersebut. Meski kalah dalam voting, Sapto di beberapa kesempatan membela rekomendasi PPR (Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi) tersebut sebagai sikap lembaga.

Sikap dissenting Sapto itu menimbulkan simpati sebagian besar wartawan senior, yang menyayangkan rekomendasi Dewan Pers tersebut sebagai langkah mundur yang mengancam kemerdekaan pers.

Kepada media ini Sapto mengagtakan, kalau bukan kita yang wartawan, siapa lagi yang mesti memikirkan dunia pers. Bagi saya tidak harus menjadi posisi tertinggi atau jabatan apapun untuk membuat pers berwibawa, kredibel, dan dihormati. Tapi, dengan menjalankan amanah di setiap posisi kita, tetap bisa  memberikan warna dan makna.

Begitu sebaliknya, potensi kerusakan besar dunia pers justru kemungkinan dari kalangan pers sendiri yang tak mampu menjalankan amanah tadi, pungkas Sapto. (*)