Oleh Wina Armada Sukardi (Kolektor Lukisan Hardi
Tiga bulan sebelum Hardi jatuh sakit, saya masih sempat datang ke rumahnya. Dia bercerita, sedang mempersiapkan penerbitan buku soal kris yang kedua.
“Koleksi keris kakak Anda yang langka-langka itu, nanti dapat dibuat di buku itu,” terangnya. Kedua kakak saya memang kokektor keris. Saya cuma tersenyum saja.
Sewaktu saya pulang Hardi memeberikan sebungkus keju berwarna. Rupanya kakak atau adiknya dari Belanda membawa keju itu.”Ini saudara saya bawa keju dari Belanda,” kata pelukis Hardi.“Saya tahu, Anda orang kaya, tapi ini dari saudara saya yang bawa dari Belanda. Enak,” tambahnya.
Sambil tersenyum, saya menerima keju itu. Saya sangat faham, pemberian keju tersebut bukan sekedar pemberian biasa, tapi merupakan simbol persahabatan antara saya dan Hardi. Begitu pula pemberiaan itu merupakan perwakilan hati Hardi yang baik. Jadi, bukan sekedar kejunya belaka.
Jika saya menolak pemberian itu, pastinya hati Hardi bakal terluka. Niat dia baik. Berbagi rasa. Maka saya menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih kepadanya. Saya bawa pulang keju ke rumah.
Kesehatan Hardi mulai langsung melorot setelah Susan, isterinya meninggal. Sepeninggalan isterinya Hardi bagaikan layang-layang putus. Meski sering melukis wanita cantik, dan bahkan tak jarang nude pula, tapi semua itu tak dapat menghilangkan kenyataaan hatinya hanya untuk sang isteri, Susan. Tak ada yang mampu menggantikan Susan di hati Hardi.
“Ternyata saya cinta banget lho ke isteri saya, Mas Wina, ” ujarnya kepada saya dengan nada melakonis. Tak sekali dia bilang begitu. Berkali-kali dalam berbagai kesempatan.
“Ya iyalah,” jawab saya menghiburnya. Pada saat-saat seperti itu, Hardi saya lihat sudah sering tercenung. Matanya yang dulu garang seperti kehilangan sebagian jiwanya.
Kepergian Susan memang membuat Hardi limbung. Susanlah selama ini yang mendampingi dalam suka dan duka. Susan sebagai isteri tidak pernah mengeluh terhadap profesi dan tabiat Hardi. Susan wanita Batak yang tabah dan mampu menjadi tumpuan jiwa Hardi. Dia selalu dan selalu mengerti Hardi. Susan selalu memaklumi Hardi. Susanlah wanita yang paling faham siapa sejatinya Hardi luar dalam.
“Dari saya kenal dan pacaran, dia orang memang udah begitu,” kata Susan kepada saya dan Hardi manakala kami berbincang-bingang santai. Waktu itu saya “pancing” Susan apa gak cemburu kepada Hardi yang sering melukis wanita cantik dan sering melontarkan kritik kepada siapapun. Mendengar jawaban isterinya, Hardi cuma tersenyum-senyum.
Ketika Susan sakit, dan sehari-hari harus duduk di kursi roda, Hardi masih belum terpengaruh. Paling Hardi menjadi lebih getol mencari uang untuk ikut membiayai pengobatan Susan. Selebihnya masih biasa-biasa saja. Perkaranya, apapun yang terjadi, sang isteri masih ada disisinya. Hardi masih dapat melihatnya secara nyata. Sesuatu yang sangat penting bagi Hardi. Selama isterinya masih ada di sampingnya, dalam keadaan bagaimanapun, Hardi masih tenang. Masih ada enegeri dari isterinya.
Maka tatkala Susan wafat, jiwa Hardi serasa remuk redam. Sebagian dari jiwanya sendiri seperti ikut melayang.
Tanpa sadar Hardi mulai berubah. Nafsu makanny sedikit demi sedikit berkurang, sampai kehilangan selera sama sekali.