Oleh HS Makin Rahmat, Santri Pinggiran dan Ketua SMSI Jatim.
SETELAH lama tidak menulis, beberapa jamaah menghubungi untuk rutin membikin tulisan sebagai muhasabah, pencerahan. Dalam batin saya, request (pesanan) tersebut sebagai motivasi dan pengingat Al Faqir sendiri.
Akhirnya di sela-sela mengikuti giat Jum’at Kliwon, Al Faqir masih menyempatkan diri untuk membuka tabir dan catatan diri. Setidaknya, ikut menebar sebiji zarrah (atom) dengan memohon ridlo dan RahmatNya.
Jujur, Al Faqir yakin saudara yang saat ini terlihat dalam pergulatan politik demokrasi lima tahunan, mencium aroma telah terjadi pembusukan konstitusi. Artinya, produk-produk hukum, merupakan rangkaian sistematik untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki.
Lantas muncul pertanyaan, untuk siapakah kekuasaan dijalankan? Sebetulnya, jawaban normatif sudah dipaparkan. Kalau mengutamakan kepentingan rakyat, maka semua rakyat akan menikmati dan merasakan. Sebaliknya, jika roda kekuasaan dipergunakan untuk kepentingan segelintir oknum, kelompok akan terjadi goncangan hebat. Siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan.
Sebagai orang beriman tentu patuh dan taat menjalani kehidupan di dunia merupakan bekal hidup kekal di akhirat. Sesuai firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Hasyr : 18)
Dari uraian di atas, maka celakalah orang-orang yang terlalu cinta dunia (kekuasaan). Bila kursi kepemimpinan dipertahankan untuk menumpuk harta, maka rasa hidup di dunia seakan-akan abadi. Cepat atau lambat, akan menemui penyesalan, khususnya saat menghadapi kematian.
Saudaraku, marilah khusnudlon (berprasangka baik) dalam menjalani kehidupan, terutama hiruk-pikuk Pilpres, Pileg, Pilkada, dan rangkaian demokrasi di negeri ini.
Jadikan, masa lalu merupakan kenangan untuk diambil hikmah. Dan, hari ini adalah kenyataan yang dihadapi, serta hari esok adalah harapan yang harus diperjuangkan dengan selalu berserah diri kepada Allah Yang Maha Benar.
Sekali lagi, kita hanya bisa berikhtiar dan terus berusaha. Dengan memohon; “Jadikanlah kami hamba-Mu yang bisa mengambil hikmah dari masa, dan berbuat di masa sekarang dengan realita yang sebenarnya, pemikiran matang serta hati yang bijaksana tidak grusa-grusu agar tidak salah langkah untuk meraih masa depan yang gemilang bagi diri dan bangsa ini tanpa penyesalan dan mengorbankan rakyat karena didasari oleh iman dan takwa. Wallahu a’lam bish-showab. (*)